Bagian 23 : Marakesh

47 3 0
                                    

Di kamar milik Poppie yang terkunci, dirinya dan Kottar tidak saling berbicara. Semua perlengkapan telah hilang ke dalam tornado yang entah darimana asalnya.

Bibi Annabelle telah berulang kali mengajaknya makan dengan melalui speaker. Sempat panik karena tidak ada jawaban. Poppie akhirnya menjawab setelah bibi berniat melaporkannya ke sang ayah.
Poppie berbohong bahwa mereka sedang mengadakan rapat dengan Reiner. Dan bibi Annabelle percaya.

Wajah mereka berdua sangat pucat sekarang. Mereka tidak tahu harus memberi alasan apa kepada orang yang mempekerjakan mereka sekaligus mampu menendang mereka dari Mars.

Berbicara jujur bahwa perlengkapan dan sample mereka dibawa tornado? Sudah tidak ada tornado di Mars semenjak 1000 tahun silam. Planet sudah bisa menghasilkan Medan magnetis buatan yang mencegah hal itu terjadi. Membuat kutub, menstabilkan suhu atmosfer, ya pada intinya alat pengendali cuaca.

Seandainya ada 'pengawas' (kalau zaman sekarang dinamakan CCTV). Kottar memerlukan teknologi tua itu untuk membuktikan bahwa benar memang perlengkapan mereka dibawa tornado. Sayangnya ratusan tahun yang lalu, 'pengawas' satelit dinyatakan merupakan pelanggaran privasi.

Setiap makhluk hidup sudah terdaftar di dalam data. Jadi gerak-geriknya sudah terbaca. Cukup konyol karena secara logika keduanya sama-sama merupakan pelanggaran privasi. Akan tetapi setidaknya dengan 'pengawas', image tornado akan terlihat. Dan Rainer akan memahami.

"Kau benar tidak menyimpan tube blackhole lagi, Kottar?"

"Aku justru bertanya padamu Poppie?"

Poppie menggeleng. "Jabatan ayah dan keluargaku jadi taruhannya Kottar."

"Sama denganku." Kottar memandang wajah Poppie. Dia tidak tega melihatnya. Dia harus berpikir. Dia harus mengeluarkan solusi. Menyerahkan keputusan kepada wanita yang disukai bukanlah tindakan seorang lelaki.

"Kita ke kantormu," usul Kottar.

Poppie melihat wajah Kottar yang menatapnya serius. Tak pernah dia lihat sebelumnya.

"Kita cari apa yang tertinggal di ruang Handoko. Atau ..." Kottar menjeda kalimatnya. Mengungkapkan hal yang hampir tak mungkin. "Kita tanyakan padanya."

"Bisakah?!" Raut wajah Poppie terlihat kegirangan. "Kupikir ... Mengapa kau tak pernah bilang?"

"Karena sebenarnya aku tak tahu."

Alis Poppie berkerut sekarang. Ingin bertanya apakah maksud dari pernyataan Kottar.

"Apakah disana dia akan menyadari kalau kita minta bantuan? Bisa jadi pesan kita hanya akan tampak seperti sekedar blip."

"Blip?" tanya Poppie.

"Sedikit distorsi dimensi. Jadi dimensi itu elastis seperti ..." Kottar berpikir sesaat kemudian menarik pipinya sendiri. "Seperti ini."

"Lalu?" tanya Poppie tersenyum sedikit melihatnya lucu.

"Itu muncul selama sepersekian detik. Apakah dia akan menyadarinya?"

"Ahh begitu ..." Poppie terduduk lemas di atas tempat tidurnya.
Hukum perbedaan waktu. Poppie akhirnya paham. "Yah, setidaknya kita mencoba," ucap Poppie pasrah sambil mengangkat bahu.

Tiba-tiba terdengar gedoran keras dari pintu. Ayah Poppie dengan cara manual (menghasilkan gelombang suara dengan membenturkan benda padat dengan benda padat lainnya, dalam hal ini punggung jari dan papan pintu) menyuruh mereka keluar untuk makan.

Karena insiden tornado itu hanya disaksikan mereka berdua. Anggota keluarga Poppie tidak ada yang memahami betapa pusingnya mereka memikirkan masa depan.

Raising meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang