08 - Bukan di Dia

14 7 0
                                    


"Selamat, Amaya. Maaf aku nggak bisa datang. Oh ya, aku kirim sesuatu buat kamu, tinggal tunggu aja barangnya datang." Amita, sepupu Giswara memberikanku ucapan selamat melalui sambungan telepon. Dia tidak bisa menghadiri pertunanganku karena hambatan pekerjaan di luar negeri yang membuatnya tidak bisa pulang ke Indonesia.

"Nggak papa, Mita. Ngomong-ngomong makasih ya, maaf ngerepotin harus beli hadiah segala."

"Iya, May. Santai aja. Aku titip salam, ya buat Giswara. Tadi aku telpon tapi nggak diangkat."

"Iya Mita. Nanti aku sampaikan." Panggilan telepon ku tutup setelah beberapa menit berbincang.

Aku memang dekat dengan Amita karena dulu kami punya hobi yang sama semenjak SMA—mengoleksi novel-novel edisi yang baru saja di rilis atau yang sudah jadul dan tidak laku lagi. Giswara yang memberitahukan hal itu.

Selain Rey, Amita juga tau banyak tentang hubunganku dan Gis semenjak SMA. Aku dan Giswara sempat menjadi mak comblang antara Amita dan Rey. Tapi kata Amita, Rey bukan tipe kekasih yang diimpikannya.

Aku mengira Rey akan patah hati karena dunia percintaannya sering sekali gagal. Dia pernah mengatakan, mencintai wanita itu memang tidak gampang. Dia butuh waktu yang sangat lama untuk menaklukkan hati wanita mana pun. Tapi hingga waktu di mana aku dan Gis bertunangan, Rey belum juga menemukan tambatan hatinya.

Aku dan Giswara berkesempatan untuk fitting baju pengantin di salah satu butik yang direkomendasikan oleh ibunya. Saat itu masih dua bulan lagi hari pernikahanku akan terlaksana. Kami berdua memilih untuk menyiapkannya jauh-jauh hari.

Rey ikut serta dalam membantu kami. Dia yang menyarankan dekorasi ruangan pengantin yang sudah profesional di bidangnya. Dan masih banyak lagi. Dia juga yang nantinya akan menjadi fotografer di pernikahanku dan Giswara.

Meski disibukkan dengan persiapan pernikahan, aku dan Giswara tak lepas dari yang namanya pekerjaan. Semakin hari semakin membuatku kelelahan. Hingga jatuh sakit selama dua minggu lamanya. Dokter yang merawatku menyarankan untuk tetap bermalam di rumah sakit hingga aku benar-benar pulih. Gis, dia ada di sana menemaniku sehabis jam pulang kerja.

Aku merasa bersalah membiarkan Giswara yang mengurus semuanya. Bahkan hingga jam tidurnya tidak teratur.

"Maaf, Gis. Aku nggak bisa bantu kamu selama dua minggu ini."

"Hey, Amaya. Udah nggak usah mikirin hal itu. Aku bisa kendalikan semuanya, bahkan pekerjaan kantor." Gis mengusap pipiku lembut. Meyakinkan untuk tidak khawatir padanya. Pun dengan persiapan pernikahan.

"Lagian ada Rey yang bantu aku. Lumayan, hemat tenaga."

Setiap kali bibir Giswara mengucapkan nama Rey, aku terus teringat kejadian sebelum hari pertunanganku. Tapi aku tidak ingin berpikir yang aneh lagi selama aku sakit. Beban pikiran itu tidak seharusnya aku bawa terus di kepalaku.

Giswara mengemas semua pakaian gantiku selama di rumah sakit. Aku pulang dengan keadaan tubuh yang sebenarnya masih lemah. Tapi semakin hari aku semakin bosan dengan suasana rumah sakit.

"Sini aku gendong." Gis mengangkat tubuhku dari atas hospital bed.

"Hari ini aku mau makan es krim." Aku meminta pada Gis. Karena selama di rumah sakit aku memakan makanan yang rasanya hambar sekali di lidahku.

"Boleh. Nanti kita mampir sebentar. Mau apa lagi?"

"Sama gado-gado Mbok Ria deh, kangen rasa gado-gadonya."

Giswara menuruti semua permintaanku. Dia semakin hari semakin hangat padaku.

Bagaimana aku tidak jatuh cinta dengannya.

Tubuhku benar-benar pulih di hari ketiga setelah keluar dari rumah sakit. Obat yang harus habis sesuai jadwalnya masih tersisa satu tablet lagi. Aku benci dengan hal berbau obat-obatan.

Giswara masih stay menjagaku meski harus pulang-pergi dari tempat tinggal ibunya dengan jarak yang bisa dibilang lumayan jauh. Harusnya dia tidak perlu begitu repotnya membebani dirinya agar aku terjaga. Karena dia sudah cukup banyak mengurus hal lain diluar kepentingan untuk menjagaku.

Begitu pulih dari keadaanku yang sebelumnya, aku sudah harus kembali bekerja. Memenuhi semua kekurangan pekerjaan yang ada di ruanganku. Menatap layar komputer berjam-jam. Lalu pulang dengan jadwal yang tidak seharusnya—begitu seterusnya.

Giswara tidak lagi memberikan semangat padaku. Aku merindukan itu.

***

Bukan di Dia [SELESAI]Where stories live. Discover now