06 - Bukan di Dia

16 10 0
                                    


Aku mendapat pesan dari Aislin bahwa Direktur perusahan tempatku bekerja baru saja terkena musibah. Karena itu, kami seluruh karyawan diliburkan penuh selama satu minggu lamanya.

Pesan lain mengalihkan pandanganku. Rey, dia mengirimkan beberapa foto bersama selama acara makan malam berlangsung waktu itu. Slide demi slide tampilan foto aku perhatikan dengan seksama. Giswara terlihat sangat tampan mengunakan kemeja putih yang dia gulung hingga lengannya dan Rey dengan aura menawannya yang memancar ketika menggunakan stelan jas ala-ala bos besar perusahaan—tentu saja karena dia yang mengadakan acaranya.

Tanganku berhenti disatu foto yang entah Rey sengaja mengirimnya atau tidak sengaja terkirim dichat pribadiku.

Rey mencium pipi Giswara sama persis ketika di bandara dan tersenyum menghadap kamera. Keningku mengernyit, merasa asing dengan tempat mereka berdua berfoto. Karena ditengah acara makan malam aku sempat berpisah dengan Gis dan Rey. Asik mengobrol bersama tamu yang lain sampai aku tidak menyadari mereka berdua hilang dari pandanganku.

Rasanya berbeda dari sebelumnya saat melihat tingkah laku mereka berdua yang masih kuanggap wajar-wajar saja. Aku takut jika Giswara ataupun Rey benar adanya menyukai satu sama lain. Itu hal yang salah.

Keesokan harinya aku memutuskan untuk bertanya pada Giswara. Kebetulan waktu itu aku meminta dia untuk datang ke kantor menemaniku mengambil laptop yang tidak sengaja tertinggal di sana. Karena satu minggu lamanya ruangan kantor akan ditinggalkan, jadi aku mengambil laptopku untuk kubawa pulang.

Kami membicarakan hal itu di taman dekat kantor tempatku bekerja. Giswara memberi alasan yang masuk akal dikepalaku. Namun dari jawaban itu entah kenapa raut wajah Giswara seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Sesuatu yang bahkan sulit sekali dia ucapkan lewat bibirnya. Aku bisa merasakan hal itu karena terlihat dari sorot matanya. Lagi pula aku sudah mengenalnya lima tahun lamanya. Jadi bagaimana bisa aku tidak tahu kalau Gis berlagak aneh dihadapanku.

"Gis, kamu- mmmm..." Aku terdiam sejenak, bingung harus menyusun kalimat seperti apa agar terdengar sopan di telinganya.

Gis menggenggam tanganku. Mencoba meyakinkan. "Amaya," Dia menatapku lekat-lekat, "Kamu nggak mungkin berpikir aneh-aneh soal aku sama Rey. Kamu tau Rey gimana, kan?"

"Bagaimana kamu bisa tau kalau aku ingin menanyakan soal itu, Gis," batinku.

Aku tau, mungkin Rey sudah terbiasa dengan hal semacam itu semenjak mereka masih anak-anak. Karena menandakan kasih sayang sesama sahabat bahkan saudara. Tapi aku terlalu takut jika itu diluar kendali mereka berdua.

"Gis, aku takut kalau orang-orang beranggapan kamu itu suka sesama pria. Itu hal yang salah. Kamu tahu sendiri, kan?"

Entah kenapa aku benar-benar berani mengatakan kalimat semacam itu. Tentu saja Giswara yang mendengarnya terdiam dan menatapku penuh tanda tanya.

Tidak, Gis. Maksudku, aku memang benar-benar takut jika itu terjadi pada pria yang aku cintai. Mungkin saja impianku untuk menikah dan hidup bersamamu akan lenyap begitu saja. Tidak ada yang tahu itu.

"Ngomong apa sih kamu. Jangan kejauhan mikirnya, ya." Giswara tidak menatapku. Layaknya orang yang sedang gelagapan.

Aku masih bisa terima untuk kesekian kalinya. Berharap Rey tidak melakukan tindakan yang lebih daripada itu. Aku sayang kedua sahabatku. Aku hanya tidak ingin yang kupikirkan benar-benar terjadi pada kedua sahabatku.

"Maaf, Gis." Aku menatapnya. Tersenyum dan memeluknya. Takut jika kalimat yang ku keluarkan membuatnya tak enak hati.

Rey tidak mengetahui kalau aku sudah melihat foto itu. Jadi kupikir biarkan saja. Dia bisa saja berpendapat sama dengan Giswara.

Aku dan Gis meninggalkan taman yang sudah kami duduki sekitar tiga puluh menitan. Dia membawaku pulang. Tentu saja untuk menyelesaikan pekerjaan kantor yang masih tersisa minggu lalu. Bukannya bersantai saat libur dadakan, aku malah berkutik dengan semua pekerjaanku.

Terlepas dari kejadian itu aku tetap mencintai Giswara. Meskipun pikiranku masih saja berkelayapan jika mengingatnya terus-menerus.

Selain isi kepalaku dipenuhi dengan pekerjaan yang masih menumpuk, hal-hal berbau tidak enak tentang Giswara juga menguak dibenakku. Pikiran itu bersarang dikepalaku selama beberapa hari.

Mungkin dengan aku mengalihkan kesibukan, aku bisa melupakannya sejenak. Meraih berkas-berkas yang belum kurapikan, menata buku-buku yang berserakan, lalu menyelesaikan pekerjaan kantorku. Hanya itu yang bisa kulakukan.

But... What if Giswara lies to me?

***

Bukan di Dia [SELESAI]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt