18

2 1 0
                                    

...

"Sean turun, ayo sarapan"

Bi Surti mengetuk pintu kamar Sean sebanyak tiga kali. Ia kemudian berlalu ke dapur setelah laki-laki dalam kamar itu mengiyakan ucapannya. Sean menyusul di belakangnya. Laki-laki berusia enam belas tahun itu sudah rapi dengan seragam SMA-nya.

Bi Surti melanjutkan aktifitas cuci piringnya, sementara Sean duduk di salah satu bangku yang menghadap langsung ke dapur.

"Papa mana?" tanya lelaki itu.

"Tuan Keenan udah berangkat dari shubuh, papamu lagi sibuk-sibuknya"

Sean mengangguk paham. Ia tahu betul bagaimana repotnya menjadi papa. Kakek selalu memberikan banyak tugas berat untuk papa. Selain itu, masalah tentang kecelakaan Sean juga menambah pekerjaannya akhir-akhir ini.

"Makan di ruang makan Sean, nanti mbak Rara yang bakal siapin makananmu" perintah Bi Surti.

Sean menggeleng, "Aku mau makan disini" ucapnya.

Lelaki itu memang paling anti kalau harus makan sendirian di ruang makan. Sean lebih suka makan di dapur, sambil ditemani obrolan kecil dengan bi Surti. Saat masih tinggal dengan mama dulu, Sean juga seperti itu. Biasanya Sean dan Shawn akan duduk menghadap Laras yang masih mencuci piring, kemudian mereka akan makan sambil menceritakan pengalaman satu sama lain.

Bi Surti menatap Sean yang kini sudah mulai mengambil satu lembar roti dan memberikan selai coklat di atasnya menggunakan tangan kiri karena tangan kanannya belum boleh banyak bergerak. Laki-laki itu biasanya tak menyukai selai coklat, tapi semenjak perpisahannya dengan kembarannya ia mulai menyukai selai coklat di rotinya. Bi Surti paham, kalau perubahan Sean itu adalah penglihan. Sean mulai menyukai coklat karena kakaknya menyukai itu. Dengan melakukan kebiasaan yang biasa kakaknya lakukan, Sean tak akan merasa kesepian maupun merasa terpisah.

Aktifitas Sean terhenti ketika ponselnya bergetar, menampikan nomor tak diketahui yang menghubunginya. Tanpa pikir panjang Sean mengangkatnya.

"Halo?"

Tak ada jawaban. Seseorang di seberang telepon diam tanpa suara. Hingga Sean mengatakan halo untuk kedua kalinya.

"Halo?"

"Arka gak salah" ucap seseorang di ujung telepon.

Kali ini Sean yang terdiam mematung. Ia mengenal suara ini. Bi Surti yang mendengar Sean ikut menghentikan aktifitasnya. Ia mendekati Sean yang tampak terkejut.

"Arka gak salah, bilang papa gak usah nyuruh orang buat buntutin dia lagi" suara lelaki di ujung telepon itu masih membuat Sean tak percaya.

"Kakak" satu panggilan yang sudah lama ingin Sean sebut akhirnya meluncur dari bibirnya.

Laki-laki di ujung telepon kembali terdiam. Begitu pula Bi Surti yang ikut terkejut. Hampir sembilan tahun, tapi Sean yakin itu suara Shawn. Ribuan kata, ribuan perasaan rasanya sudah hampir meledak sekarang. Perasaan Sean membuncah, senang, sedih, haru semuanya menjadi satu. Penantiannya dalam sembilan tahun terakhir akankah berakhir sekarang?

Suara Shawn yang ada diingatannya hampir luntur dimakan waktu. Suara masa kecilnya itu hampir hilang dari memori Sean. Namun hari ini ia mendengar suara kakaknya, meski lewat telepon. Suara itu kini sudah berubah, menjadi lebih berat jika dibandingkan sembilan tahun lalu.

"Aku punya bukti siapa yang berusaha nyelakain kamu, jadi tolong minta Tuan Keenan Pandu Winata untuk menghentikan penyelidikannya terhadap Arka"

Shawn menutup teleponnya secara sepihak. Membuat Sean yang masih terkejut itu kebingungan. Sean mencoba menelpon ulang nomor kakaknya. Namun nihil, Shawn menonaktifkan ponselnya.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang