10

6 3 1
                                    

Mobil hitam milik Keenan kini memasuki gerbang rumahnya. Ia memarkirkan mobilnya tepat didepan pintu utama rumahnya. Beberapa asisten rumah tangga sudah berjejer rapi di depan pintu untuk menyambut Keenan dan Sean. Salah satu penjaga membukakan pintu mobil untuk Sean, sebagian lainnya mengeluarkan barang-barang milik Sean dari bagasi. Semuanya membungkuk hormat ketika Sean dan Keenan sampai.

"Sean!" pekik salah satu orang terdekat Sean di rumah itu.

Wanita berusia akhir 50 an itu berlari kecil menghampiri Sean. Menghambur tuan mudanya itu dalam pelukan. Sean tersenyum lebar menyambut bi Surti.

"Mana sini coba bibi lihat" bi Surti melepas pelukannya, kemudian memutar tubuh Sean, memperhatikan tuan mudanya itu dari atas sampai bawah.

Tangan wanita itu memukul pelan lengan kiri Sean, "Nakal! Bibi kan udah bilang kalo bawa motor pelan-pelan"

Sementara Sean meringis kecil, "Kalo kelewat pelan nanti aku telat pulang bi"

"Alesan aja kamu" ucap bi Surti.

Bi surti kembali menatap luka yang ada tepat di atas alis Sean dan di bagian tulang pipi lelaki itu, ia beralih pada bahu Sean yang masih menggunakan penyangga.

"Sakit ya?"

Sean hanya tersenyum melihat perlakuan bi Surti, "Sakitnya gak seberapa kok bi, besok juga sembuh"

"Kalo gitu kamu cepet istirahat biar cepet sembuh, bibi siapin makan siang buat kamu ya"

Bi Surti menggandeng tangan kiri Sean, menuntun lelaki itu menuju kamarnya. Sementara Keenan masih menatap punggung keduanya . Ia bersyukur bi Surti bisa bekerja di rumahnya sejak dirinyha muda sampai sekarang. Setidaknya Sean bisa merasakan kasih seorang ibu dari pembantunya itu.

                                                                                             ...

Sean merebahkan tubuhnya di atas ranjang miliknya. Ia mengeluarkan pin yang tadi ia temukan dari saku celana jeansnya. Ia menatap pin itu lekat-lekat. Pikirannya melayang, memikirkan apa benar sosok yang menolongnya tempo hari adalah Shawn? Sean merasa kalau ia harus mencari kebenarannya. Tapi bagaimana caranya? Ia bahkan tak tahu seperti apa rupa dari saudaranya itu.

"Shawn masih di kota ini?" tanyanya pada diri sendiri.

Ia memutar kepalanya, menatap bingkai foto keluarga kecilnya. Sean pada foto itu mungkin berusia delapan tahun. Begitu pula dengan anak lelaki yang berada disampingnya pada foto itu. Foto itu, adalah foto terakhir yang ia ambil Sembilan tahun lalu bersama kedua orang tuanya, dan saudaranya, Shawn Pandu Winata.

Seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar Sean. Setelah Sean mengizinkannya masuk pintu itu terbuka. Menampakkan bi Surti yang membawa nampan berisi makan siang Sean.

"Makan siang dulu Sean" ucapnya, kemudian ia menaruh nampan itu di meja kecil samping tempat tidur Sean.

Sean bangkit dari tidurnya, ia kini duduk di pinggir tempat tidur.

"Bi"

Bi Surti hanya berdeham menjawab panggilan tuan mudanya itu sembari melanjutkan menata makan siang Sean di mejanya.

"Kira-kira wajah Shawn sekarang kayak gimana ya?"

Bi Surti yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya itu terdiam. Ia menatap Sean lekat kemudian menampilkan senyum yang menenangkan. Terakhir kalinya ia bertemu dengan Shawn adalah Sembilan tahun lalu, sama seperti Sean.

"Tuan muda Shawn pasti masih terlihat sangat mirip sama kamu"

Sean beralih menatap kaca yang ada dihadapannya. Ia dapat melihat bayangan dari wajahnya sendiri.

HiraethWhere stories live. Discover now