Tania Story

49 2 1
                                    

Dulu, aku selalu bersyukur bisa lahir dalam keluarga ini. Tapi itu dulu. Sekarang semuanya sudah berubah. Setiap kali aku memandang ruang tengah tempat aku sering berbincang-bincang bersamanya, aku seakan sedang menyaksikan fragmen video masa laluku. Tanpa ada yang terlewat sedikitpun.

Aku masih bisa mengingat semuanya secara detail. Disaat semua masih baik-baik saja. Dan aku berharap akan terus baik-baik saja.

Tapi, takdir berkata lain. Semua yang baik-baik saja berubah menjadi tidak baik-baik saja. Semenjak kejadian itu hidupku berputar seratus delapan puluh derajat. Dan sejak saat itu aku bertekad untuk mengakhiri hidup dengan caraku sendiri.

Jangan habiskan waktu kalian hanya untuk membaca ceritaku. Karena tidak ada yang spesial dalam hidupku. Sudah kuperingatkan agar kalian tidak habiskan waktu hanya untuk cerita yang penuh dengan kebencian, penyesalan dan penderitaan hidup.

"ayah, kalo besar nanti Tania pengen jadi dokter biar bisa ngobatin banyak orang. Ayah seneng nggak kalo Tania bisa jadi dokter?"

"ya jelas dong sayang. Ayah bakalan dukung apa aja yang Tania cita-citakan asal itu baik. Tapi jangan lupa untuk rajin belajar ya biar cita-citanya bisa terwujud."

"iya ayah, Tania bakal bikin ayah sama ibu jadi bangga sama Tania," ucap Tania kecil pada ayahnya.

.

Sekelebat kejadian mulai menghantuiku ketika aku melewati ruang tengah. Aku mulai menangis mengingat kejadian sepuluh tahun lalu itu. Saat itu aku dan ayah sedang mengobrol di ruang tengah. Dengan bangganya aku mengutarakan cita-citaku yang amat mulia kepada ayah. Aku bangga punya ayah sepertinya. Dan ayah juga bangga dengan Tania kecil yang begitu antusias mengutarakan cita-citanya.

Dengan tak bersemangat aku meraih tas di atas meja dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Tempat kedua yang amat aku benci setelah rumahku. Jika gadis seusiaku biasanya sangat menyukai sekolah demi bertemu dengan teman-temannya, nyatanya aku tidak. Rasa-rasanya aku ingin cepat lulus dari sana. Tidak ada tempat yang kusenangi kecuali makam ayah.

Disanalah aku dapat bercerita kembali dengan ayah dan merasakan kehadiran ayah disisiku. Aku ingin cepat-cepat mengakhiri hidupku dan bertemu ayah.

Tak terasa angkot yang aku tumpangi sudah sampai di depan gerbang sekolahku. Aku menarik nafas panjang-panjang sebelum memasuki tempat ini. Aku berjalan menuju ke kelasku sendiri. Disaat teman-teman ku saling menyapa aku hanya bisa berharap banyak agar ada yang menyapaku. Tapi, itu hanya khayalanku saja. Nyatanya seperti tidak ada yang melihatku sedang berjalan kearah mereka dan terus menyunggingkan senyuman. Tapi aku tak dihiraukan.

Apakah aku sehina itu dimata mereka?

Tak terasa aku telah sampai di depan kelasku. Lagi-lagi aku menghirup napas dalam-dalam lalu masuk ke kelas. Seketika kelas menjadi sunyi ketika aku masuk. Seakan-akan aku amat mengerikan dimata mereka semua.

Hanya ada satu teman yang masih menerimaku apa adanya. Namanya Salma. Dia yang menawarkan kursi kosong disebelahnya ketika teman sebangkuku pergi meninggalkanku dan aku tak tau apa kesalahan yang telah kuperbuat kepadanya.

"Tania, sini buruan deh," Salma menyadarkanku dari lamunan.

Aku pun berjalan menghampirinya. Hanya dia yang masih mau berteman denganku.

"ada apa Sal?"

"ininih liat, gue menang lomba nulis cerpen. Gue seneng banget. Ini semua berkat dukungan dari lo tau nggak,"

"wahhh Alhamdulillah ya Sal, lo hebat deh. Gue? Emangnya gue bantu apa Sal?"

"pokoknya tanpa dukungan dari lo, gue nggak bakalan menang. Udah berapa kali gue mau nyerah buat nyelesaiin naskah cerpennya. Tapi lo selalu nyemangatin gue untuk jangan berhenti. Makasih ya Tan. Lo temen gue yang paling baik,"

Antologi KataWhere stories live. Discover now