🕋◇ Episode 9 ◇🕌

Start from the beginning
                                    

Langkah kaki Gus Ozy terdengar menjauh dan menutup pintu kamar agar Kyai Ilyas bisa sediri di kamar.

Kyai Ilyas kembali menatap foto di dalam bingkai kayu silver itu. Gadis remaja dengan pakaian wisuda sedang memeggangi seikat bunga, tersenyum begitu menawan. Di belakangnya terukir besar-besar namanya dan ucapan selamat sebagai sarjana kedokteran yang lulus termuda, tercepat, dan terpintar di Universitas Seoul. Mendiang istrinya dulu.

"Ning ... saya sungguh rindu."

Bola mata Kyai Ilyas mulai beralih ke langit hitam sana. Mata beliau berkaca-kaca. "Ya Robb, Engkau telah mengambil istriku. Jika Engkau sekarang hendak mengambil anakku, ajari hamba ikhlas untuk yang kedua kalinya. Saya ikhlas, Ya Robb ... saya ikhlas. Saya ikhlas atas sikap putra hamba."

***

Di depan pintu kamar, istri Gus Ozy yang mencemaskan banyak hal menanyai suaminya, apa kondisi Kyai Ilyas baik-baik saja di dalam? Gus Ozy hanya bisa menggeleng, tidak mengerti situasi. Kondisi perasaan Kyai Ilyas jelas sangat terluka. Gus Ozy hanya meminta istrinya agar menyuruh anak-anak segera tidur. Biar dia saja yang akan bicara pada Yasin nanti. Istri Gus Ozy mengangguk dan meminta Sean-Seta agar tidur saja, tidak ikut menguping bersama Ahsan-Ihsan-Muhsin di tangga. Kelima personil geng anak kembar itu bubar jalan setelah mendengar perintah Mama Sean-Seta.

Entah akan pergi ke mana kembar tiga itu, yang jelas mereka keluar. Sudah tidak berminat mendekat pada Hurrin dan alamat dipelototin Umi mereka jika bertanya atau bicara aneh-aneh. Bagaimana mereka bisa bicara, adik bungsu mereka Hasanah saja yang cerewetnya tujuh orang, sekarang diam dan menatap Hurrin penuh prihatin.

Abi Hasan masih duduk di sana, di samping istrinya. Menyadari Gus Ozy mendekat dan bertanya bagaimana Gus Yasin melakukan itu pada Hurrin. Abi Hasan hanya bisa menggeleng. Begitu pula Umik Fatma. Mereka sepakat untuk diam saja dulu, tentang keinginan Gus Yasin yang ingin melamar Hurrin ke rumahnya di Riau sana. Waktunya benar-benar tidak tepat. Hurrin masih sesegukan menangis. Perasaannya tercampur aduk, tapi yang lebih dominan adalah perasaan bersalah pada Kyai Ilyas. Meskipun semua tahu, kejadian itu bukan salah Hurrin.

"Kang Hasan, apa Yasin pergi ke kamarnya?" tanya Gus Ozy pada Abi Hasan.

"Injjih, Gus."

"Baiklah. Mbak Fatma, ajak Hurrin ke kamarnya saja. Tidak baik jika dia terus di sini dan jadi perbincangan santri lain ketika melihat kondisi Hurrin."

"Injjih, Gus." Umik Fatma dibantu Hasanah menuntun Hurrin agar pergi ke kamarnya.

Gus Ozy naik ke lantai dua, menuju kamar Gus Yasin berada. Pintu kamar tertutup. Jelas dikunci dari dalam. Gus Ozy menghela napas kasar, susah sekali membujuk keponakannya yang satu ini.

Tok! Tok! Tok!

"Paman tahu kau belum tidur, Yasin. Paman ingin bicara berdua saja denganmu."

Satu detik, dua detik, tiga detik. Setengah menit. Tetap tidak ada satu pun jawaban dari dalam kamar Gus Yasin.

"Yasin, kalau kau tidak ingin bertemu denganku sekarang. Besok temui Paman di taman setelah sholat subuh. Semoga esok hari perasaanmu lebih baik."

Tidak ada jawaban apapun dari dalam. Tetap tidak akan pernah ada. Gus Yasin tidak akan menjawab, dia sedang khusyuk bersujud di sajadahnya. Tapi dia mendengar semua, apa yang diteriakkan pamannya, Gus Ozy dari luar kamar. Gus Yasin akan terus sholat sepanjang malam sampai kakinya tidak mampu berdiri.

Ketika ia marah, satu-satunya yang selalu bisa lakukan adalah sholat. Gus Yasin ingat, siapa yang mengajari tiap gerakan-gerakan itu agar terhubung dengan Tuhan-nya. Adalah Abi-nya yang mengajari, adalah Abi-nya yang menuntun lidahnya mengucapkan Allahu Akbar sampai salam, adalah Abi-nya yang mengajari Surat Alfatihah itu juga. Gus Yasin selalu mengikuti apa yang diucapkan Abi-nya dari dulu. Sekarang sudah tidak lagi, Gus Yasin sudah dewasa. Sudah berhak menentukan keputusannya sendiri. Termasuk menentukan siapa pasangan hidupnya. Pasangan hidup adalah pekara yang tidak boleh diputuskan secara sepihak begini.

Bugh! Tubuh itu ambruk tertarik gravitasi.

Entah sudah rakaat sholat yang keberapa Gus Yasin tak tahu, ia sudah tidak mampu berdiri lagi. Kakinya sudah terlalu lelah untuk sholat sunnah. Ini sudah batasnya. Gus Yasin menuju ranjang kamarnya, melirik jam digital di atas nakas yang menujukkan angka 01.36, waktunya tidur sejenak.

Tring!

Satu bunyi notifikasi dari ponsel Gus Yasin di meja kecil sebelah ranjangnya. Ia meraih benda persegi itu. Malas sekali membaca nama kontak yang tertera di sana. Satu pesan chat dari seseorang yang benar-benar tidak diharapkannya saat ini.

______________

Dek Najwa
______________

Kangmas, besok jam 9 pagi tolong temui saya di Kafe Suramadu dekat Hotel Alpha.

Kita perlu bicara sebelum keluargaku berangkat ke Mesir.

________________________________

Gus Yasin menyeringai. Apa maksud gadis blasteran Mesir satu ini?

Bukannya semua penolakanku itu sudah sangat jelas?

Apalagi lagi yang ingin dibicarakan denganku?

.
..
....
.......

◇□ MUNAJAT □◇

___________________________
___________________

Stay terus! 🥰

Terima kasih sudah mampir.

Jangan lupa vote dan komen gaes. Dukung si Author Amatir ini terus yah!

𝐌𝐮𝐧𝐚𝐣𝐚𝐭 ✔Where stories live. Discover now