8. Kamar Khusus

3.1K 282 9
                                    

"Bicara tentang persembahkan. Kenapa minggu ini Cintya dijadikan korban? Dia dieksekusi di tempat yang sama dengan Mas Burhan lagi," tanya Nisya saat ibunya tengah membakar kemenyan di ambang sebuah gudang.

"Urusan persembahan, ketua yang memutuskan, Nisya. Kita sebagai anggota cukup mempersiapkan. Dan menunggu antrian kapan keluarga kita mendapat giliran untuk menjadi korban berikutnya. Kamu juga harus siap kapan pun suamimu dipersembahkan nanti. Karena keputusan ketua selalu tak terduga, beliau yang diberi wewenang oleh Nyai untuk memegang kendali atas organisasi," papar Bu Yuli begitu tenang sembari menabur semacam serbuk abu di atas pembakaran kemenyan.

"Sampai saat ini aku masih belum tahu kenapa ketua menjadikan anggotanya sendiri sebagai bahan persembahan." Nisya menatap Bu Yuli dengan ekspresi yang sulit diartikan.

Bu Yuli menoleh, perempuan yang terlihat jauh lebih muda dari usianya itu tersenyum sembari mengusap pipi putrinya.

"Tiap anggota yang dijadikan korban, adalah mereka yang melanggar kontrak yang sudah disepakati saat mendaftar di organisasi. Kakakmu dan Cintya melakukan pelanggaran itu sehingga Nyai murka."

"Pelanggaran macam apa yang dilakukan Mas Burhan dan Cintya?" tanya Nisya lagi.

Bu Yuli tersenyum penuh arti. "Belum saatnya. Setelah menikah dan mengikuti serangkaian ritual, kamu juga akan tahu semua hal mengenai Organisasi."

Nisya merupakan anggota keluarga Burhan yang baru-baru ini bergabung dengan organisasi. Awalnya Bu Yuli tak menginginkan putrinya terlibat dan ikut tersesat. Namun, kemungkinan besar anaknya menjadi persembahan membuatnya lebih takut, hingga terpaksa mengikutsertakan Nisya.

"Oh, iya. Setelah menikah nanti. Jangan lupa siapkan kamar kosong untuk tempat singgah Nyai." Sejenak Bu Yuli menangkup wajah putrinya. "Jaga dirimu baik-baik, peralat Zidan sebaik mungkin. Jangan sampai nasibmu berakhir seperti Burhan. Ibu tak ingin kehilangan anak lagi karena kebodohan yang sengaja atau tidak kalian lakukan. Buang jauh-jauh rasa kemanusiaan itu, tujuan kita bergabung dengan organisasi adalah untuk menjadi pengikut Nyai, dan mendapatkan kesenangan duniawi!" pungkas Bu Yuli sebelum berlalu menuju lorong gelap yang menghubungkan gudang dan kamar rahasia di rumah mereka.

***

"Boleh Jihan tanya kenapa Ayah tak suka dengan Mas Burhan dan keluarganya?" tanya Jihan hati-hati, saat mereka tengah duduk di ruang keluarga selepas salat isya berjamaah.

Pak Ridwan menoleh, lalu tersenyum kecil. "Entah, sejak awal firasat ayah tak enak mengenai mereka, Nak. Seolah ada aura gelap yang menyelimutinya. Wallahualam."

Jihan terdiam. Mungkin ini yang dinamakan firasat orangtua hampir tak pernah salah. Perempuan itu mulai merutuki diri karena memilih menentang ayahnya saat memutuskan untuk menikah dengan Burhan.

"Apa pendapat ayah tentang orang-orang yang menentang Allah, dan bersekutu dengan iblis?"

Pak Ridwan terdiam. Dia mengalihkan pandangan dari Jihan. Tatapannya terlihat menerawang jauh.

"Mereka adalah orang-orang yang hatinya sangat lemah dan putus asa. Tak percaya akan kekuasaan Allah, lalu memilih jalan sesat untuk mencapai keinginannya. Kadang orang yang masih punya iman saja bisa terpengaruh, apalagi mereka yang sama sekali tak memilikinya. Iblis masuk dari berbagai celah, mereka lebih mudah memengaruhi manusia yang kosong hatinya.

Maka, tak lelah ayah mengingatkan padamu maupun Zidan. Jangan pernah lalai. Jalankan kewajiban yang Allah perintahkan, tetap taqwa di mana pun kalian berada. Isi hati dengan takbir dan tasbih setiap ada kesempatan, jangan pernah membiarkannya kosong. Karena Iblis selalu mempunyai cara untuk menyesatkan manusia. Ayah tak mau kehilangan kalian sama seperti ayah kehilangan ibu kalian."

Jihan menggeser posisi duduknya, lalu memeluk Pak Ridwan. Dia sandarkan kepala di bahu ayahnya itu. Mereka sama-sama teringat saat Ibu Jihan wafat dua puluh tahun silam, karena dahsyatnya santet yang dikirim seseorang.

***

Nisya menatap pantulan dirinya di cermin. Tubuh indah itu kini terbungkus gamis panjang berwarna merah muda dengan pashmina senada.

Senyumnya tersungging kecil saat menatap foto Zidan yang terpampang besar di sebelah meja rias. Lelaki berusia tiga puluh tujuh tahun itu sudah lama dia incar. Berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga konglomerat, pebisnis sukses, dan yang pasti memiliki penampilan yang rupawan. Fokus pada karir membuat Zidan nyaris tak pernah dikabarkan berhubungan dengan perempuan atau merencanakan sebuah pernikahan.

Sampai Nisya akhirnya datang, pesonanya mampu memikat Zidan meski dipisahkan jarak antara Indonesia dan Amerika yang jauh terbentang. Zidan belum tahu riwayat keluarga Nisya, karena perempuan itu sengaja merahasiakannya, sebelum mereka resmi bertemu. Hingga hari ini akhirnya tiba, pertemuan yang sudah lama Nisya tunggu. Sebentar lagi, perempuan itu akan mendapatkan apa yang dia inginkan.

"Maaf, Mas. Aku terpaksa melakukan ini, mengingat fakta tentang ikatanmu dan Mbak Jihan yang mungkin menyulitkan kita di masa depan." Nisya mengusap foto Zidan sejenak, sebelum mendengar panggilan asisten rumah tangga yang mengabarkan bahwa calon suaminya sudah tiba.

***

Bu Yuli terpaku menatap foto Zidan berukuran 4 x 4 dalam genggaman tangan. Di dalam kamar yang terlihat begitu kelam itu aroma kemenyan menguar memenuhi ruangan.

Fosil-fosil binatang terlihat terpajang di sekitar dinding. Terdapat pula ranjang berukuran kecil yang diletakkan di pojok ruangan.

Bu Yuli menatap cermin seukuran setengah badan yang ada di hadapan. Terlihat bayangan sosok setengah ular berambut panjang dengan lidah menjulur di belakang tubuhnya.

"Selamat menikmati, Nyai."

Bu Yuli meletakkan foto Zidan di atas pembakaran kemenyan, kemudian dia menyiramnya dengan darah Ayam Cemani yang masih segar. Dalam sekejap, foto Zidan menghilang.

Di tempat lain, Zidan yang baru saja datang tiba-tiba merasakan telinganya berdengung, napasnya sesak, dengan suara yang tercekat. Mata lelaki itu melebar, urat-urat di lehernya timbul bak tercekik.

Nisya yang menyaksikan itu hanya bisa menatap dalam diam, sampai tubuh Zidan berhenti kejang-kejang, dan jatuh pingsan.

Setelah memastikan Zidan benar-benar tak sadarkan diri, Nisya mendekat, lalu berbisik di telinganya.

"Mulai sekarang, kamu tidak akan peduli dengan orang di sekitar, dan hanya mau mendengarkanku."

.

.

.

Bersambung.

RANJANG BERDARAH (21+)Where stories live. Discover now