3. Tentang Keluarga Jihan

3.7K 351 12
                                    

Mini Cooper berwarna merah itu melaju melewati gerbang menjulang yang terbuka otomatis. Mengitari sebuah air mancur besar yang ada di pusat pelataran menuju sebuah rumah megah bergaya modern yang berdiri di atas lahan sendiri seluas 4500 M², di kelilingi benteng yang beberapa meter lebih tinggi dari bangunan rumah huni.

Seorang satpam penjaga berusia paruh baya menghampiri mobil yang baru saja berhenti di antara jejeran mobil mewah lainnya. Dia membuka pintu dan sedikit tersentak saat melihat perempuan cantik bergamis panjang dengan pashmina dan kacamata hitam turun dari dalamnya.

"No-Non Jihan," ujarnya terbata.

Jihan membuka kacamatanya lalu tersenyum hangat. "Apa kabar, Pak Dani?"

"Ba-baik, Non. Sudah lama sekali sejak Non menginjakkan kaki di rumah ini. Lima belas tahun, ya?" tanya Pak Dani memastikan.

Jihan mengangguk pelan.

"Ah, ini pasti Den Galih dan Non Rara-Riri. Saya pernah dengar beberapa kali Bapak bercerita tentang cucu-cucunya." Pak Dani beralih pada anak-anak Jihan yang baru saja turun dari kursi penumpang. Dengan sopan mereka mencium tangan satpam yang sudah lama mengabdi pada keluarga ibunya.

Pak Dani menatap takjub. Sama halnya dengan sang majikan, Jihan juga pandai mendidik anak-anaknya untuk mengedepankan adab dibanding ilmu.

"Iya, Pak. Ngomong-ngomong Ayah ada?"

"Ada di dalam, Non. Kebetulan lagi sama Den Zidan."

Sejenak mata Jihan mengerjap. "Loh, Zidan sudah pulang?" serunya yang sedikit terkejut karena kembarannya itu tiba-tiba pulang lebih cepat daripada yang dijadwalkan tahun depan.

"Iya, Non. Baru semalam beliau pulang ke Indonesia."

Jihan mangut-mangut.

"Kalau begitu saya permisi ke pos lagi," pamit Pak Dani sembari sedikit membungkukkan tubuhnya.

"Iya, Pak. Terima kasih, ya."

Sepeninggal Pak Dani Jihan mengiring ketiga anaknya untuk masuk ke dalam. Namun, sebelum sampai di anak tangga menuju teras seluas lapangan futsal tersebut, ucapan Galih menghentikan langkah Jihan begitu saja.

"Ibu kok nggak pernah bilang kalau kakek sekaya ini?" tanya remaja berusia empat belas tahun itu.

Jihan menoleh.

"Iya, Bu. Tempat ini kayaknya bahkan lebih luas daripada empat rumah di kompleks kita," sahut Rara.

"Selama ini kita ketemu Kakek kalau nggak di restoran atau kafe pasti di villa yang ada di Jaksel, kan?" timpal Riri.

"Padahal kalau Ibu kasih tahu Nenek, Om Bahar, Tante Nisya, dan Tante Nova kita nggak akan direndahkan. Ibu juga nggak akan selalu dituduh mengincar harta Ayah," tambah Galih.

Jihan hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari ketiga anaknya. Perempuan itu mengusap kepala mereka satu per satu.

"Sayang ... kekayaan itu bukan sesuatu yang patut untuk dipamerkan. Semua nikmat dunia yang kita dapatkan hanyalah titipan dari sang pemilik kehidupan. Lagipula yang kaya, kan Kakek, bukan ibu."

Mereka bertiga mengangguk mengerti. Lalu kembali mengekori Jihan.

Pintu dibuka setelah bel dua kali ditekan. Seorang perempuan setengah baya dengan pakaian rapi muncul dari baliknya.

"Non Jihan!" serunya antara kaget dan senang.

"Bi Arum!" Jihan memeluk kepala asisten rumah tangga yang sudah lama mengabdi pada keluarganya tersebut.

"Mari Non, Bapak ada di ruang keluarga sama Den Zidan."

Jihan mengangguk, lalu merangkul Rara dan Riri menuju ruang keluarga yang ada di bagian timur lantai dasar, melewati beberapa ruang yang disekat tembok atau rak-rak menjulang.

RANJANG BERDARAH (21+)Where stories live. Discover now