6. Mimpi atau Petunjuk?

3.2K 307 12
                                    

Perumahan elit Pelita Harum kembali digemparkan dengan penemuan jasad wanita tanpa busana di salah satu rumah mewah untuk yang kedua kalinya.

Pagi ini pihak berwajib mulai memberi garis polisi di sekitar TKP untuk menyelidiki keterkaitan kasus pembunuhan ranjang berdarah yang juga baru seminggu lalu terjadi pada pemilik rumah, Burhan Hakim.

Dari kejauhan Jihan hanya bisa menatap rumah peninggalan suaminya yang dikerubungi warga dengan nanar, sembari memeluk si kembar. Tak habis pikir dia, bagaimana bisa kejadian yang sama terulang dalam kurun waktu sepekan?

Jihan semakin meyakini bahwa ada yang tak beres di rumahnya. Dia juga percaya bahwa semua ini ada hubungannya dengan privat party yang selalu didatangi seluruh anggota keluarga mendiang suaminya

"Jihan!"

Sentuhan lembut di pundaknya membuat Jihan yang tengah hanyut dalam lamunan terlonjak kaget. Sekuat apa pun ditutupi, rasa cemas dan was-was masih saja menyelimuti dirinya. Bagaimana tidak demikian, sudah dua kali dia mendapati jasad tergeletak di atas ranjangnya dalam keadaan bersimbah darah. Meninggalkan sebuah misteri dan asumsi akan penyebab tewasnya dua orang yang sangat dia kenal.

Walhasil sejak semalam tubuhnya gemetar. Menggigil kedinginan meski sudah terbungkus berlapis-lapis pakaian. Dia hanya bisa memeluk ketiga anaknya sembari merapalkan segala doa meminta perlindungan Tuhan, berharap apa pun yang terjadi mereka masih diberi kesempatan untuk melihat kebenaran.

"Ah, Detektif Fahri," seru Jihan sembari menyeka keringatnya yang bercucuran.

"Mau saya antar pulang sekarang?"

"Tak usah, terima kasih. Sebentar lagi sopir Ayah datang menjemput," tolak Jihan dengan halus.

Detektif Fahri tersenyum maklum. "Kalau begitu saya permisi. Nanti sore saya hubungi lagi, kita berangkat sama-sama meminta keterangan secara pribadi pada suami Cintya."

Jihan hanya menanggapinya dengan anggukan ringan.

"Assalamualaikum." Sebelum pergi, lelaki berusia empat puluh dua tahun itu membungkuk sedikit.

"Waalaikumsallam."

Jihan menatap mobil Detektif Fahri yang perlahan menghilang di ujung jalan.

"Bu, kenapa di rumah kita banyak yang mati?" celetuk Rara sepeninggal Detektif Fahri.

"Iya, Bu. Apa bener kata orang kalau rumah kita ada setannya? Riri takut," timpal Riri kemudian.

Jihan menghela napas panjang, lalu membungkuk untuk menyejajarkan tubuh dengan si kembar.

"Nggak ada, Sayang. Rumah itu udah kita tinggali lebih dari sepuluh tahun. Ibu tak pernah lihat apa-apa selama itu."

"Tapi tiap malam Riri dan Rara selalu denger ada suara orang jalan di depan pintu, cuma kita nggak berani bilang sama ibu."

"Mungkin itu cuma perasaan kalian aja." Jihan berusaha meyakinkan.

"Rara juga pernah mergokin Ayah ngobrol sama perempuan yang rambutnya panjang di platform. Awalnya Rara pikir itu ibu, tapi baru inget kalau lagi di luar ibu nggak pernah lepas kerudung."

Jihan terdiam, lalu tersenyum samar.

"Mungkin itu Tante Nisya."

"Tapi Tante Nisya nggak pernah datang malam-malam," sanggah Rara.

"Anak-anak ...." Jihan mengusap kepala Rara dan Riri. "Banyak istigfar, ya, Sayang. Semua itu cuma halusinasi kalian sa--"

"Semalam Galih juga cium bau melati yang nusuk hidung, Bu. Terus ada suara wanita nyinden Jawa," sahut Galih tiba-tiba.

RANJANG BERDARAH (21+)Where stories live. Discover now