"Ih Mas Esa nyebelin!!!"

Panggilan itu dimatikan secara sepihak oleh Ningsih. Mahesa dan aku tertawa mendengar gerutu kesal remaja perempuan itu dari seberang sana.

"Aku harus ke dapur karna harus menyiapkan makanan untuk Ningsih dan seseorang yang entah siapa tadi."

"Aku bantuin kamu, ya."

Mahesa menggeleng.

"Sekarang aku belum butuh bantuan kamu. Jadi kamu bisa bersantai di luar sambil berbincang dengan Andan. Aku yakin kamu ingin mendengar banyak hal soal aku dari Andan."

"Siapa bilang?"

"Aku."

"Kamu kepedean!"

"Hahaha"


Aku duduk di kursi jati yang letaknya ada di teras Pandu menyusul Andan yang sudah lebih dulu ada di situ entah sejak kapan. Di meja bundar itu Andan menyediakan bakpia dan teh hangat sambil mempersilahkan aku untuk mencicipinya.

Di tempat Mahesa tumbuh ini, Andan jadi orang yang sepenuhnya menjaga dan menyayangi Mahesa. Andan merawat Mahesa sejak hari pertama dia tinggal di sini hingga detik ini ketik dia memutuskan untuk kembali ke sini.

"Andan senang Esa tidak datang ke Tana sendirian."

"Naya juga senang bisa menemani Esa di Tana. Tempat ini, tempat Esa dibesarkan ini, benar-benar membawa ketenangan."

Andan mengulas senyum. Sorot matanya yang memancarkan kehangatan serta lembut kasih seorang Ibu rupanya bisa aku rasakan saat kali pertama aku menjumpainya. Andan pun persis seperti yang Mahesa ceritakan padaku. Tuturnya yang lembut serta senyumnya yang hangat mampu membawa ketenangan dan kenyamanan kepada siapa saja yang melihat dan ada di dekatnya. Andan benar-benar menjaga dan membesarkan Mahesa kecil dengan baik. Berkat segala ajarannya Mahesa tumbuh menjadi sosok laki-laki yang penuh kasih dan peduli. 

"Andan, Naya boleh bertanya?"

"Tentu saja, Naya."

"Bagaimana Esa kecil di mata Andan?"

"Esa kecil?"

Aku mengangguk.

"Esa kecil dan Esa yang sekarang itu tidak punya banyak perbedaan, Naya. Esa kecil persis seperti Esa yang kita lihat saat ini; hangat, menenangkan dan menyenangkan. Saat Esa pertama kali ke Tana, matanya memancarkan kilau yang amat berbeda dari anak yang pernah Andan temui sebelumnya. Esa selalu mengatakan sesuatu yang kadang sulit dimengerti oleh teman-teman seusianya karna cara berpikirnya yang amat dewasa. Esa dan caranya memandang dunia ini selalu meninggalkan kesan baik untuk semua orang yang pernah dia temui."

Apa yang Andan katakan adalah seribu persen benar. Aku yakin kalian semua juga berpikiran yang sama persis seperti apa yang Andan katakan, bukan? Mahesa dan caranya memandang dunia ini selalu jadi sesuatu yang meninggalkan kesan baik terlepas dari sepahit apapun kenyataan yang dia terima. 

"Semua orang yang mengenal Mahesa itu adalah orang yang beruntung. Andan tahu persis bagaimana Esa di antara lingkup pertemanannya. Kehadirannya menciptakan keharmonisan dan mampu membawa secercah kebahagiaan. Tidak hanya orang-orang tersebut yang beruntung bisa mengenal Esa tapi Esa juga sama beruntungnya karna bisa mengenal dan dipertemukan oleh orang-orang baik."

Kalimat yang Andan ucapkan persis seperti bagaimana Mahesa berbicara. Tuturnya, pemilihan katanya, teduh matanya saat berbicara juga senyum yang tanpa sadar tidak pernah lepas dari sudut bibirnya benar-benar menggambarkan Mahesa dalam wujud keibuan.

Ketika pertama kali mendengar Mahesa berbicara, menurutku, dia sedikit berbeda. Tidak seperti kalangan seusianya termasuk aku, Mahesa cenderung berbicara dengan bahasa yang semi baku dan daya pikirnya yang jauh lebih dewasa dibanding umurnya. Rupanya hal tersebut turun dari Andan; sosok ibu yang sangat disayangi dan dihormati oleh Mahesa.

Obrolanku dengan Andan terhenti ketika sosok remaja perempuan dengan kedua tangannya yang penuh oleh koper dan tampilannya yang sedikit nyentrik melambaikan tangannya ke arahku sambil berteriak kencang.

"MBA NAYA!!!!!!"

Aku dan Andan lantas mengalihkan perhatian ke sumber suara tersebut berasal. Aku menggelengkan kepalaku sambil menahan tawa.

"Itu Ningsih, Andan. Adik perempuan Esa."

Andan tersenyum melihat hadirnya sosok remaja perempuan dengan raut wajah cerita tersebut. 

Di belakang tubuh mungil Ningsih hadir sosok laki-laki yang tingginya terpaut belasan centi darinya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di belakang tubuh mungil Ningsih hadir sosok laki-laki yang tingginya terpaut belasan centi darinya. Laki-laki itu menampakkan wajah yang tegas namun dalam sekejap tegas di wajahnya itu hilang ketika dia menabur senyum malunya dengan kedua matanya yang menyipit. Laki-laki dengan satu tas besar di pundak kanannya yang aku yakini tas tersebut adalah milik Ningsih lantas menyusul Ningsih sekaligus membawakan dua koper yang sudah Ningsih tinggal begitu saja di tempatnya kala dia melihat sosok-ku dan Andan di teras Pandu.

 Laki-laki dengan satu tas besar di pundak kanannya yang aku yakini tas tersebut adalah milik Ningsih lantas menyusul Ningsih sekaligus membawakan dua koper yang sudah Ningsih tinggal begitu saja di tempatnya kala dia melihat sosok-ku dan Andan di...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ningsih seketika menghambur ke dalam pelukan Mahesa dan memeluknya erat-erat sekali. Mahesa membalas pelukan adik perempuannya itu sambil mengelus puncak kepalanya pelan.

"Ningsih?"

"Iya, Mas Esa?"

"Kamu belum keramas?"

"MAS ESA IH NYEBELIN!!!"

MAHESAWhere stories live. Discover now