#2 Tawaran di Sudut Kota

26 7 0
                                    

Selamat pagi Ras,

Aku bertemu dengan perempuan yang sangat aneh.

Wajahnya pucat, tapi ia selalu tersenyum dan pembawaannya juga selalu ceria.

Tapi tenang aja, Ras, aku nggak akan jatuh cinta dengannya.



LARAS akan marah besar jika ia tahu aku baru saja mengajak orang asing untuk naik ke atas motorku.

Aku mengendarai motor bututku menyusuri jalanan Gambirsari yang mulai ramai. Aku selalu memanggilnya motor butut karena sering rusak dan jadi langganan bengkel, padahal motor itu adalah motor matic keluaran tahun 2008 yang kubeli seharga lima juta dari teman sekolahku dulu karena ia sedang butuh uang. Dulu motor ini sering kugunakan untuk menjemput Laras dan mengantarnya ke mana saja. Dia tak pernah komplain atas seringnya si butut berhenti di tengah jalan dengan masalah yang beragam. Hanya akulah tukang mengeluh dan marah-marah yang ada.

Sudah setahun sejak kematian Laras, jok belakang motor ini selalu sepi penumpang. Hanya aku sendiri yang mengendarainya setiap hari. Jalanan Kota Solo yang dulu selalu penuh dengan celoteh Laras dari jok belakang, kini hanya terdengar desir angin dan klakson memburu dari pengguna jalan lain. Tak ada suara halus itu lagi, tak ada tawa kecil malu-malu itu lagi. Setiap melewati Jembatan Bacem dan jembatan-jembatan lainnya, aku selalu ingin melemparkan si butut ini ke dalam Sungai Bengawan Solo. Dan terkadang, aku ingin ikut melemparkan diri dengannya.

Namun hari ini jok belakang si butut terisi lagi, oleh orang yang baru kutemui pagi tadi. Aku tak tahu kenapa, tapi Sala tak kalah cerewet dari Laras. Ia pandai sekali berbicara, selalu ada saja topik bahasan yang dapat ia temukan. Di sepanjang jalan menuju Mojosongo, pembicaraan kami tak pernah putus sekali pun. Selalu bersambung, selalu ia rangkai. Ia tahu apa saja pembahasan yang bisa aku tanggapi.

Kita sampai di tujuan dan Sala segera melepas helm lalu turun dari motorku. Aku baru sadar bahwa dia membawa sebuah tas kotak berwarna merah menyala. Aku tak memperhatikannya saat di pemakaman tadi, dan sekarang aku tahu di mana ia mendapat obat merah beserta kain kasa untuk luka di kepalaku. Segera kuabaikan apa yang ia bawa dan kami pun masuk ke salah satu tenda makanan.

"Kamu mau makan apa? Sup matahari? Soto daging? Selat? Timlo?"

"Selat. Aku sedang tak ingin makan nasi."

Aku mengangguk dan segera memesan sepiring selat dan dua mangkuk timlo. Tak lupa dengan dua teh mondo hangat. Sala yang berlalu duluan memilih duduk di luar tenda. Aku mengikutinya dan kita duduk-duduk sembari mengamati kendaraan-kendaraan yang lewat.

"Jadi, apa yang kamu lakukan di pemakaman sepagi itu?" Aku memulai percakapan karena lelah melihat Sala bengong menatap jalan raya.

"Kalau kamu?" Sala malah balik bertanya. Pandangannya tetap fokus pada jalanan ramai di depan Pasar Mojosongo.

"Um... ziarah?"

Sala akhirnya menengok ke arahku. "Ya, itulah yang orang-orang lakukan di pemakaman, kan? Menguburkan seseorang, mengunjunginya, menangisinya lagi dan lagi, menyesali segala perbuatan mereka di depan pusara orang terkasih... Seperti itu, kan?"

Alisku bertaut mendengar ucapan Sala yang terdengar sangat... sangat menyeramkan. Aku meminum teh mondo yang baru saja diantar hingga tersisa setengah gelas. Sial, pahit sekali! Harusnya aku tak ikut-ikutan Sala untuk memesan teh tanpa gula ini hanya untuk terlihat keren di hadapannya. Lagipula apa yang dapat terlihat keren dari memesan teh mondo? Apa yang kupikirkan tadi?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Satu Pagi untuk SalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang