18• Pemimpi

0 1 0
                                    

Tiap pagi sebelum fajar menyingsing, Ayam telah berkokok nyaring. Membangunkan semua penduduk hutan yang masih terbaring. Terus ia lakukan hal yang sama sepanjang hari, tak kenal lelah, kantuk, dan malas bangun pagi.

Tapi suatu hari Ayam tiba-tiba terlambat bangun. Ketika ia membuka mata, ia sudah mampu melihat matahari. Lekas ia berkokok, namun ternyata seluruh penghuni hutan sudah bangun lebih dahulu.

"Hai Ayam. Tumben kau bangun siang." Burung merpati hinggap di dahan pohon yang rendah, dekat dengan atap kandang berbentuk panggung yang Ayam pijak sekarang.

"Ah, iya. Aku juga tak tahu kenapa bisa terlambat bangun hari ini," timpal Ayam dengan nada sedih.

"Ah, tak apa jika sesekali kau terlambat." Burung Merpati kemudian mengibaskan sayapnya, dan mendarat di dahan yang lebih tinggi. Matanya menatap ke kejauhan, melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi di tengah hutan.

Puas dengan apa yang ia lihat, Burung Merpati turun lagi ke dahan yang rendah. Dengan semangat yang menggebu Burung Merpati berkata pada Ayam, "Di tengah Hutan ada festival bakat. Kau mau ikut?"

Ayam tak tahu harus menjawab apa. Tubuhnya diam membeku, mencoba memikirkan apa yang harus ia miliki jika mengikuti Burung Merpati.

Bakat?

Ayam tak memiliki itu, rasanya. Aktivitasnya hanya seputar membangunkan teman-temannya, dan tidur lebih awal tiap matahari baru saja terbenam. Hanya itu. Tanpa bakat.

"Ah, kau saja. Aku nanti menyusul."

Burung Merpati menelengkan kepalanya. "Ada yang tak beres denganmu. Kenapa?"

"Mm ya...."

"Katakan saja."

"Aku tak punya bakat." Selang beberapa detik, Ayam meneruskan kalimatnya. "Kau tahu? Aku punya sayap, namun tak mampu terbang sepertimu. Aku mampu berkokok, tapi tak akan semerdu nyanyian unggas lain. Aku mungkin bisa—"

"Berhenti berkata! Jangan merendahkan dirimu seperti itu!" Ekspresi Burung Merpati kini tampak sendu. "Kau tahu? Aku sering iri padamu. Kau punya hati yang tulus. Mampu membangunkan hewan lain padahal kamu pun masih mengantuk. Kalau ada yang paling baik di hutan ini. Maka itu kamu."

Ayam tertegun. Sementara Burung Merpati terus mengucapkan kalimatnya. "Tapi kita itu makhluk Tuhan. Kita itu sempurna, dengan kelebihan yang telah Tuhan berikan. Kita punya bakat. Semua makhluk punya bakat."

"Tapi ... aku tak tahu bakatku. Apa lagi mimpiku." Ayam masih tampak sedih, membuat Burung Merpati di hadapannya membuang napas kesal.

"Kamu punya bakat. Aku suka ketulusan hatimu, dan sikap ramahmu yang mudah bergaul. Kokokanmu tiap pagi juga merdu. Aku rasa ... itu bakatmu."

Burung Merpati mengepakkan sayapnya. Kini mendarat di samping Ayam yang kini mulai merasa senang.

"Untuk soal mimpi, menurutku semua makhluk bebas bermimpi. Apa pun bakatmu. Bermimpi saja. Karena apa pun hal yang terjadi, tak akan mampu menghancurkan seorang pemimpi."

Usai mengatakan hal tersebut, Burung Merpati mengepakkan sayapnya dengan gembira. Lalu berseru, "Ayo balapan sampai ke Festival Bakat! Aku yakin aku akan menang!" sambil mengepakkan sayapnya dan segera melesat.

"Curang! Lihat saja, aku akan menyusulmu!" Ayam berlari cepat, menyusul Burung Merpati yang telah terbang mendahului. []

***

"Hm, gimana?"

Ketiga manusia di hadapannya masih membaca dengan saksama. Sampai akhirnya, Kana mencetuskan sebuah komentar, yang menurut Syadza tak sesuai dengan bayangannya.

"Si Ayam telat bangun satu hari aja was-was. Apa kabar dengan aku yang bangun jam enam lewat tiap pagi?"

Disusul dengan komentar Diza yang malah membuat Syadza meringis.

"Bisa-bisanya aku jadi nge-ship Ayam sama Burung Merpati!"

"Romance terus!" Kana mencibir, membuat Diza melayangkan pukulan dengan penggaris karet di tangannya.

Sementara itu, Rama memberikan acungan jari jempol untuk Syadza. "Sudah bagus ini. Temanya juga sesuai, dan dijelaskan tanpa ribet. Sudut pandang kamu bagus, Dza."

Kana yang mendengar itu seketika bersorak, "Asyik! Dah selesai kan ya?" walau nyatanya yang Rama puji bukanlah naskahnya.

"Iya. Nanti aku minta tolong Laksmana buat print semua dokumen dan dijilid. Ya, berkat kerja keras semuanya selesai hari ini."

Syadza meringis. "Tepat sebelum hari pengumpulan."

"Dan tepat banget karena Bu Neni bilang enggak harus ditulis. Kalau enggak, kita pasti bakal bermasalah sama tulisan Kana."

Plak!

Diza meringis, seraya melirik tajam pada Kana yang tampak sedang berpura-pura tak terjadi apa-apa. Padahal sudah jelas penggaris karet itu ada di tangan kanannya.

"Aku belajar banyak dari kalian." Gumaman Syadza membuat seluruh atensi manusia tertuju padanya. "Aku belajar bahwa rasa malu bisa dilawan kalau kita mau. Bahwa persahabatan tak selancar berkedip tiap waktu. Bahwa kadang pertengkaran itu perlu. Dan berbeda tak mengakibatkan semua orang saling berseteru."

Syadza Alishba tersenyum manis. "Terima kasih." Membuat yang lainnya ikut tersenyum.

"Mendiang Mamaku pernah bilang, semua orang itu baik. Dan Tuhan pasti mempertemukannya dengan orang baik." Arkana Kristian baru hari ini bicara dengan intonasi tenang.

"Mendiang Papaku juga berkata, selama kita berbuat kebaikan, maka Dewa juga akan memberikan kita banyak keberkahan. Kehadiran teman juga sebuah berkah kan?" Rama Danyadhaksa baru hari ini mengajukan pertanyaan dengan satu alis terangkat.

"Ah kalian bikin aku nangis tahu!" Dan Diza Aurora baru hari ini terharu di depan teman-temannya.

Keadaan di ruang tamu Rumah Rama tampak seperti drama. Sampai ketika Laksmana menyibak tirai penghubung antara ruang tamu dan ruang keluarga, cowok itu mengernyitkan dahinya, kebingungan.

"Kalian berempat akting sinetron ya?" []


A/N :
Laksmana adalah contoh nyata dari kakak yang suka kepo-an🙂 (kayak yang nulis)

Publish : Magelang, 20 Agustus 2021

What's My Dream?Where stories live. Discover now