17• Genre

2 1 0
                                    

"Ah, ini serius belum datang, Bu?! Coba periksa lagi deh. Biasanya Jumat sore juga sudah sampai!"

Dian—guru pengawas perpustakaan—kembali menggelengkan kepala. Membuat Diza di depannya kembali menghela napas, dan berlanjut menggerutu ketika menemani Syadza mencari buku kumpulan fabel.

"Kenapa sih Za, kok ribut sama Bu Dian?" Syadza masih mencoba fokus mencari buku yang ia inginkan, meski tentu saja sedikit terganggu oleh keluhan yang berulang kali Diza katakan.

"Tahu enggak? Aku nungguin majalah yang di dalamnya ada seri cerita detektif favoritku, yang cuma ada seminggu sekali. Dan sekarang! Sekarang majalah itu belum sampai! Padahal aku sudah exited pakai banget!"

"Tunggu sampai Senin. Pasti sudah sampai." Syadza kembali menyusuri rak demi rak untuk sesuatu yang sangat ia butuhkan.

"Ah, kamu enggak tahu sih rasanya! Nungguin satu minggu tapi enggak dapat hasil apa-apa."

Syadza menghela napas. "Innallaha ma'ash shabiriin. Allah bersama orang yang sabar. Ingat?" Sementara Diza yang tentunya masih mampu mendengar hanya meringis sambil mengacungkan ibu jarinya pada Syadza.

Meski Diza tetap melanjutkan acara mengeluhnya, ketika Syadza sibuk berjinjit guna menggapai buku yang ia inginkan. Buku kumpulan fabel untuk membantu menyelesaikan tugas kelompoknya nanti malam.

Kemarin usai pramuka, Rama langsung unjuk diri. Cowok itu menbagikan rencana untuk tugas yang akan dikumpulkan hari Senin. Mulai dari hari Sabtu, semua anggota harus menyelesaikan fabel masing-masing. Minggu untuk revisi bersama. Senin pengumpulan dan makan bakso sepulang sekolah yang akan disponsori oleh Arkana Kristian.

Kegiatan yang sangat terancang. Saking terancangnya sampai Syadza berharap segera pulang dan menuntaskan naskahnya. Sudah cukup dengan semua drama persahabatan dan usaha menemukan jati diri. Sisa dua hari untuk persiapan tugas, dan Syadza hanya berharap agar dua hari itu sesuai ekspektasi. Hanya itu.

"Sudah belum Dza? Kalau sudah, keluar yuk! Terus di sini bikin aku tambah kesal."

Dan ya, Syadza merasa sahabatnya masih tak rela dengan majalah yang tertunda di perjalanan.

•••

Di hari Sabtu, semua murid sudah pulang ke rumah pada pukul sepuluh pagi. Tak terkecuali dengan Syadza yang kini telah terbaring di kasur busanya menatap langit-langit kamar. Sedikit mengingat tentang dua minggu terakhir.

Sebelumnya, hanya Diza yang ia kenal baik di kelas 7A. Untuk Rama, Syadza mengenalnya sebagai sang juara kelas. Dan untuk Kana, Syadza mengenalnya sebagai murid 'kesayangan' Pak Danu. Hanya sebatas penilaian pertama.

Tapi detik ini, penilaian itu hilang. Rama bukan sang juara. Cowok itu hanya mampu dewasa di usianya. Dan Kana juga bukan hanya langganan BK. Dia juga atlit sepak bola, dan punya luka. Luka yang hanya mampu dilihat beberapa orang. Termasuk Syadza.

Syadza masih ingat upaya pertama mereka di kios Bu Wati. Lalu jendela perpustakaan. Dan terakhir, aksi sandi morse. "Kok hebat ya," gumamnya sambil terkekeh.

Kalau diingat-ingat, semua hal yang terjadi memang sangat random. Tapi hal-hal itu lah yang membuat semuanya terasa unik. Syadza mungkin tak tahu rasanya keluar dari zona nyaman dan menemukan persahabatan jika sejak awal RaKaDiSy tak pernah ada.

Tanpa melepas seragamnya, Syadza kini duduk di meja belajarnya. Menyambar sebuah pulpen dan menulis bagian akhir dari fabelnya. Menuntaskan tanggung jawab yang telah ia pusingkan selama hampir dua minggu.

Ada rasa haru di sana. Rasa yang ... entahlah. Seperti ada ribuan pujian dan kepuasan yang cewek itu rasakan. Padahal itu hanya sekedar menulis kata 'tamat'.

Suara pintu yang diketuk kini langsung membuat Syadza kembali tersadar. Cewek itu turun dari kursinya dan membuka pintu. Menatap siapa yang berdiri tegap di hadapannya dengan senyum senang.

"Ayah kok pulang cepet?"

Yahya terkekeh, walau seterusnya malah mengerucutkan bibir seperti anak kecil, membuat Syadza di tempatnya diam dan mengerutkan kening.

"Ayah pulang cepat salah, pulang lambat salah. Serba salah."

Seterusnya, suara tawa sontak terdengar di depan kamar Syadza. Entah dua manusia itu menertawakan apa. Yang jelas di sana sangat tampak ekspresi gembira.

"Lagi ngapain Tuan Putri?"

"Ngerjain tugas." Syadza masuk ke dalam kamarnya dan duduk di kursi meja belajar, diikuti Yahya yang duduk di tepi ranjang.

"Bagus!" Yahya memberikan dua acungan ibu jarinya. "Ayah dulu malah enggak kayak kamu."

Syadza mengernyitkan kening. "Maksudnya?"

Yahya terkekeh sebentar, sebelum tatapannya tertuju pada langit-langit kamar, dengan pandangan menerawang. Menembus waktu yang mungkin tak akan pernah mampu pria itu ulangi.

"Ayah dulu ... hobi main di Kali. Enggak ada tuh yang namanya belajar. Adanya ya, makan, main, tidur."

Syadza di tempatnya ternganga. Seraya menanti kata berikutnya dari Yahya. "Tapi hari ini semuanya berbeda. Tahu-tahu ayah sudah jadi dokter dan punya putri yang super rajin.

Keduanya kembali tertawa. Meski lagi-lagi tak tahu pasti apa yang keduanya tertawakan.

"Intinya ... ingat saja. Hidup itu ibarat buku. Dan kita adalah penulisnya. Kita bebas nulis apa pun, dan nentuin genre sesuai yang kita mau. Dalam membaca, enggak semua orang suka genre romance. Enggak semua orang juga suka sama fiksi remaja atau fantasi.

"Tapi apa yang kita baca dan suka, itu murni dari hati kita. Kita suka genre ini, tapi gak semuaorang suka genre itu. Tapi, enggak ada yang bisa larang kita menyukai genre yang kita suka. Jadi ... lakukan apa pun yang kamu mau. Jangan pernah takut menjadi seorang pemimpi.

"Karena kamu ... adalah penentu genre dari buku hidup yang kamu tulis." []

A/N:
Selalu suka bikin karakter seorang ayah yang gemar ngasih nasihat :)

Publish : Magelang, 20 Agustus 2021

What's My Dream?Where stories live. Discover now