16• Sandi Morse

3 2 0
                                    

Jam satu siang di hari Jumat adalah waktu yang kadang membuat para pelajar menggerutu. Di tengah teriknya matahari, ekstrakulikuler pramuka yang membuat keringat mengalir dari pori-pori tentu membuat waktu istitahat terhenti.

Meski begitu, kedua siswi dengan seragam pramuka lengkapnya tetap menaiki sepeda, menuju garasi yang hanya sedikit ruang ditempati. Kemudian segera berbaris di tengah lapangan, tepat di antara kumpulan para siswi yang tengah berhaha-hihi.

"Pasang benderanya jangan lupa." Syadza mengingatkan, membuat Diza dengan cepat berlari ke dalam kelas guna mengambil kain sakral yang tadi sempat ditinggal.

Diza kembali, dengan kain kuning persegi empat dengan gambar bunga mawar yang ia genggam dengan erat. Lalu dengan hati-hati segera memasang bendera regunya pada tongkat yang dengan susah payah ia bawa.

Sebenarnya bisa saja Diza memasang bendera itu dari rumah, tapi perjanjian dengan Kak Fariz selaku dewan penggalang membuat ia mencari cara aman.

"Siapa pun yang menjatuhkan bendera, baik sengaja atau tidak, baik pemimpin atau anggota, wajib push up sepuluh kali! Bila melanggar akan mendapat dosa dari Tuhan!"

Diza bergidik, sembari memegang erat tongkat di tangan kanannya. Tak masalah sebenarnya melakukan push up. Tapi ini tentang persoalan tanggung jawab. Diza pemimpin regu, dan jika ingin regunya kompak, maka ia harus memberi contoh yang bijak.

Siswa-siswi lainnya mulai berdatangan, bersama para dewan penggalang dan guru-guru pembina. Baru tepat pukul setengah dua siang, upacara pembukaan mulai dilangsungkan. Dilanjut dengan penjabaran para dewan penggalang tentang apa saja yang harus dilakukan siang itu.

"Untuk kelas tujuh A nanti bisa bersama saya di sini, dan kelas tujuh B dengan Kak Nesi di dalam kelas. Bisa dipahami?"

"Bisa Kak!" Semua anak menjawab. Sementara dua di antara mereka beradu pandang dengan senyum tertampak. Fariz benar-benar melakukan ide yang mereka usulkan.

Lima menit Fariz mengatur barisan. Sampai akhirnya semua anak kelas tujuh A berbaris rapi dalam posisi istirahat. Fariz di depan sana berdiri tegap, kemudian bersuara lantang, menjabarkan agenda yang akan dilakukan.

"Baik adik-adik sekalian. Hari ini kita akan mempraktikkan materi sandi morse dengan menggunakan peluit. Kakak akan membagi murid secara berpasangan. Satu orang membunyikan satu kata, dan orang lainnya menebak. Paham?"

Grusak-grusuk para murid membuat Fariz tersenyum tipis. "Kalian boleh buka buku catatan nanti." Dan helaan napas dari tiga puluh siswa terdengar bersamaan.

"Baik, setelah i—"

"Saya tidak bawa peluit Kak!" Seseorang dengan santainya memotong ucapan Fariz. Membuat pemuda lima belas tahun itu menengok ke arah sumber suara. Anak lelaki dengan rambut gondrong yang berbaris di bawah pohon mangga. Tempat yang teduh, dan harusnya tak menjadi tempatnya berbaris.

Arkana Kristian. Tanpa membaca name tag di seragam cowok itu, Fariz sudah pasti tahu siapa dia.

"Selain Kana ada yang tidak membawa peluit?" Tak ada yang menjawab, sampai satu menit kemudian. "Oke, bawa semua ya. Nanti Kana kakak kasih peluit gratis. Kemarin beli banyak, karena pasti ada yang kayak kamu." Fariz memberi tekanan pada kata 'pasti', mencoba menyindir meski yang disindir tak memberikan respons apa pun.

Usai dengan masalah lupanya Kana, Fariz mulai mengatur siswa. Dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama berisi tujuh pasang siswa, dan yang kedua berisi delapan pasang siswa. Syadza dan Rama berpasangan di kelompok pertama. Menyisakan atmosfer dingin antara Diza dan Kana yang sama-sama pemimpin regu, dan diatur duduk bersebelahan oleh Fariz.

What's My Dream?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang