15• Tentang Bondan

3 2 0
                                    

Kelas menjadi bak kulkas. Setidaknya, bagi Rama dan Syadza. Aura perang dingin yang ada di sekeliling mereka hingga akhir jam pelajaran membuat keduanya jujur saja merasa tak nyaman.

"Mm, Diz. Tugas bahasa indonesiamu sampai mana?" Syadza mencoba bertanya. Namun Diza tak menjawab. Gadis itu masih fokus pada deretan huruf yang tengah ia tulis.

"Besok belajar kelompok enaknya di mana?" Kana tak menjawab apa yang Rama tanyakan. Cowok itu mencoret-coret halaman belakang bukunya asal. Membuat Rama paham bahwa sahabat karibnya itu sedang kesal.

Sampai bel pulang berdering, keduanya cepat-cepat pergi dari kelas usai berdoa. Menyisakan Syadza dan Rama yang terdiam di bangku mereka dengan penuh rasa kecewa. Baru di hari yang lalu semuanya terasa damai, mengapa sekarang kembali kacau?

"Aku enggak habis pikir sama mereka." Rama menutup pintu kelas, kemudian berjalan di depan Syadza, membuat keduanya sedikit berjarak. "Selalu kekanak-kanakan. Sedikit-sedikit marahan, tapi pasti susah baikan!"

Syadza hanya tersenyum kecut di balik tubuh jangkung Rama. Jujur saja, ia tak nyaman dengan kejadian yang kerap kali terjadi. Ribut, ribut, dan ribut. Sejak awal Bu Neni membagi kelompok, hanya ada ribut.

"Dza."

Syadza menghentikan langkahnya. Cewek itu mendongak, menatap wajah Rama yang terlihat kecewa. "Menurutmu ... apa kita bisa dapat nilai yang bagus?" Rama menghela napas, membuat aura dingin menguar di antara mereka berdua.

"Aku ... enggak tahu." Syadza ikut menghela napas. "Sejak awal tugas ini dibagikan, aku rasa ini akan kacau. Maksudku ... aku juga enggak tahu apa mimpiku. Ditambah sistem penilaian yang aku rasa enggak manusiawi. Itu tidak adil bagi anggota kelompok yang pintar, dan mungkin ... akan membuat beberapa anggota tertekan."

Butuh lima detik, hingga Syadza sadar bahwa dis tengah mengeluarkan unek-uneknya. Di depan ... Rama! Seseorang yang bukan mahramnya. Seseorang yang kini hanya diam, membuat Syadza makin merasakan atmosfer canggung di sekeliling mereka.

"Ram, i-itu ta—"

"Terima kasih karena sudah jujur." Ucapan Syadza terhenti. Refleks tatapannya tertuju pada Rama yang kini menunjukkan senyumnya. Cowok itu kembali berjalan, bersama Syadza yang mengikutinya di belakang.

"Mau pulang bersama? Aku punya sesuatu yang ingin diceritakan. Lagi pula aku sempat menghafal jadwal Dokter Yahya ketika kami diskusi beberapa hari yang lalu. Hari ini dia bekerja. Tak mungkin kan jika hari ini dia menjemputmu?"

Syadza menghentikan langkahnya. Antara kaget dengan Rama yang tahu jadwal ayahnya, dan rasa bingung yang muncul atas dasar mengatakan 'ya' atau justru 'tidak'.

Merasa tak ada lagi suara derap langkah kaki di belakangnya, cowok itu menoleh ke belakang. Rasa bingung melihat Syadza berhenti membuat cowok itu menepuk dahi ketika sadar apa yang telah ia ucapakan.

"Ah, maaf." Rama berdehem sekilas, mencoba meredakan canggung yang ada. "Aku naik mobil dengan kakakku, jadi kita tidak akan hanya berdua. Aku akan duduk di depan, dan kau bisa duduk di belakang. Jadi, aku tidak akan melanggar aturan agamamu kan?"

Syadza terdiam sebentar. Masih mempertimbangkan keputusan yang akan ia ambil. "Aku harap kamu mau. Karena ini ada hubungannya dengan Diza dan Kana." Baru usai ucapan Rama yang melayang membuatnya penasaran, Syadza mengangguk sebagai jawaban.

***

Laksmana Danyadhaksa. Seorang remaja usia sembilan belas tahun yang baru saja memperkenalkan diri pada Syadza. Meski kehadirannya membuat Syadza bingung, karena kata Rama, apa yang akan dikatakannya adalah rahasia.

What's My Dream?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang