1. Cotswolds

155 16 4
                                    

TAK pernah terlintas di benak Andrea Jacobson, sedikitpun, bahwa dia akan berada di bagian selatan Inggris pada pekan kedua setelah kelulusan SMA-nya.

Sebulan lalu, Andrea mengira-ngira bahwa setelah lulus dirinya bakal berjibaku dengan berkas-berkas pendaftaran salah satu universitas di Portland, beradaptasi dengan kehidupan di flat yang baru beberapa hari ditempati, atau mungkin mencari kerja sambilan.

Nyatanya, saat ini dia tengah melaju di dalam mobil yang disopiri sahabat-nya, Greg Sullivan, memasuki wilayah Cotswolds di Inggris.

Coba saja ketikkan 'Cotswolds' pada kolom pencarian Google dan yang muncul adalah gambar-gambar desa tua Inggris yang cantik dan tampak lebih pantas berada dalam buku cerita.

Dan memang benar, memasuki Cotswolds saat ini rasanya seperti melewati gerbang ajaib menuju sebuah desa kecil abad pertengahan di negeri dongeng.

Andrea membuka jendela penumpang. Dia membiarkan rambut tembaga sepunggungnya tersapu oleh semilir angin segar yang beraroma rumput dan tanah lembab. Gadis itu mengagumi pemandangan di sekelilingnya yang terasa hampir-hampir tidak masuk akal saking terlalu indah. Hamparan pepohonan hijau dan ladang-ladang luas dan berbukit mengapit jalan raya yang mereka lalui. Langit cerah tak berawan menemani perjalanan, dengan matahari yang tidak terlalu menyengat-yang sebetulnya terhitung langka untuk ukuran cuaca Inggris.

Andrea menyandarkan tubuhnya di jok mobil dan menghirup dalam-dalam udara segar yang menerpa.

Ini keputusan yang tepat.

Diiringi lantunan sumbang yang berasal dari sahabat cowoknya di balik kursi pengemudi, pemandangan di sekitar mereka perlahan berubah. Perbukitan tergantikan oleh rumah-rumah mungil tua yang tersusun atas limestone kekuningan sewarna pasir. Aneka jenis mawar atau wisteria merambati dinding-dindingnya. Atap-atapnya sewarna kopi pekat dan bercerobong asap. Jendela-jendelanya kecil dan manis, beberapa rumah bahkan memiliki juliet balcony.

Mobil kemudian memasuki kawasan pusat desa yang ramai, dengan deretan pertokoan dan gedung-gedung yang lebih besar. Namun mereka tidak berhenti di situ. Mobil terus melaju menjauhi pusat desa dan berbelok memasuki kawasan perumahan yang lebih sepi. Jalanan kecil yang mereka lalui menyelip dan berkelok di antara rumah-rumah itu seperti akar pohon, lalu melebar dan membawa mereka kembali ke wilayah terbuka yang dikelilingi ladang-ladang menakjubkan berpagar hutan.

Akhirnya, mobil berhenti di depan salah satu rumah yang berdiri sendirian tak jauh dari area gereja.

"Sully... ini rumahmu?"

Andrea terpana mengamati penampakan sebuah pondok mungil cantik di luar jendela mobil. Di balik rumah itu terhampar perbukitan hijau dengan beberapa domba terlihat tengah meladang.

"Rumah ibuku, tepatnya. Tujuh tahun terakhir aku tinggal di rumah ayahku di Portland, di sebelah rumahmu dan rumah orangtuamu, persisnya. Kita sempat tetanggaan, ingat? Dan... oh, baru-baru ini aku tinggal di flat menyedihkan di tengah Portland bersama sobat cewekku yang sama menyedihkannya." cowok berkulit gelap dan berambut keriting itu menyahut sarkastis.

Menanggapinya, Andrea hanya memutar bola mata.

Sully terkekeh, "Ayo. Kita perlu menurunkan barang-barang dulu."

Mereka berdua bersama-sama melangkah keluar dari dalam mobil. Sully membuka bagasi dan mengeluarkan satu ransel miliknya, dan sisanya dua koper milik Andrea. Cowok itu tidak membawa banyak barang karena dia harus kembali ke Portland besok lusa untuk mengurus beberapa berkas proses pendaftaran kampus.

Sully mendongakkan kepalanya untuk melihat langit dan bersiul panjang.

"Kau beruntung, Andy. Aku belum pernah disambut pulang dengan langit secerah ini." cowok itu memimpin jalan sementara Andrea mengikuti di belakangnya sambil menyeret koper melewati pagar kayu rendah yang berkeriut saat dibuka, "Biasanya serba abu-abu dan basah. Tahulah. Tipikal Inggris."

The Boy Who Talked To The TreesWhere stories live. Discover now