Pamungkas Merangin

Beginne am Anfang
                                    

Ia mendengar janji para calon wakil rakyat. Ia menonton mereka di televisi, menggebu-gebu menyuarakan janjinya. Mereka bersemangat untuk naik kursi jabatan bukan untuk mensejahterakan masyarakat. Ya, mungkin tidak semua. Rata-rata begitu kan?

Pamungkas selalu heran dengan orang-orang kaya raya yang suka menghamburkan uang. Memamerkannya dimedia sosial, seolah-olah mereka adalah buta terhadap orang lain yang kelaparan.

"Kemiskinan memang tidak akan terlihat dimata-mata orang tamak." gumam Pamungkas.

Saat ini, dia sedang melewati jalan raya. Menatap hiruk pikuk kehidupan yang ramai, seolah tak pernah istirahat. Pamungkas juga punya pikiran agak keliru, dia selalu berpikir kalau orang-orang yang mempunyai mobil itu termasuk orang yang kaya. Makanya dia selalu iri dan takjub tiap kali melihat mobil-mobil mewah lewat didepan matanya.

"Apakah itu Pamungkas?!"

Pamungkas menahan laju gerobaknya, dia menoleh kesisi jalan raya. Dimana sebuah steam motor menawarkan jasa. Seorang laki-laki dengan rambut sedikit bergelombang mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dia tidak terlalu tinggi dan tak terlalu pendek. Untuk ukuran orang Indonesia, terbilang cukup normal. Kulitnya kuning langsat dan suaranya agak serak.

"Nanggala?"

Nanggala atau Gala, cowok yang memakai kaus berlogo Jeep dan celana jeans pendek compang-camping itu tengah menoleh kanan-kiri untuk menyebrangi jalan. Ah, iya. Gala itu matanya minus, pantas saja dia melihat sekitar dengan mata menyipit. Kacamatanya tidak dipakai.

"Kukira salah orang, ternyata benar kau!" serunya sambil ngakak.

Pamungkas tak tau apa yang diketawakan oleh Gala. Cowok itu memang sedikit receh, tapi dia juga termasuk orang cerdas yang tersembunyi bagi Pamungkas. Sungguh, Gala itu pintarnya bukan main!

"Mataku rabun jauh lah, muka kau dari jauh tuh kayak aspal. Rataaa semua."

Logat Gala itu mirip-mirip orang Medan. Tapi dia bukan dari Medan, gala mengaku pernah tinggal disana cukup lama. Kadang Gala berbicara dengan logat Medan kadang biasa, ya suka-suka dia lah.

"Abis nganter air kemana?"

"Rumah Pak Duloh." sahut Pamungkas, meletakkan gerobaknya dengan hati-hati. Lalu duduk dipinggir jalan mengikuti Gala. "Kamu nggak diomelin bos malah duduk disini?"

Gala terkekeh geli. "Nggak lah!"

"Kok?"

"Suka-suka aku lah!"

Tuh kan. Gala itu orangnya begitu, santai banget. Sementara Pamungkas selalu ketakutan akan sesuatu dan sedikit bodoh. Kata Gala, Pamungkas itu orang paling lugu yang pernah ditemuinya. Dulu Gala sering banget bodoh-bodohi Pamungkas.

Itulah pentingnya belajar! Tapi sekarang Gala malah menjadi teman ngobrolnya. Gala berkata :

"Orang lugu itu agak bodoh, tapi dia jujur. Makanya aku betah deket-deket orang seperti itu."

"Kau tau tidak? Aku kemarin abis ke taman kota, terus nemu shuttlecock banyak. Aku ambil lah buat kau. Pengertian sekali aku ini, kan?"

Pamungkas berbinar menatap Gala yang masih juga memandangi jalan dengan raut lelahnya. "Terimakasih."

Gala menoleh. "Coba bilang dulu, shuttlecock dengan benar. Baru aku kasih!" setelahnya, senyum miring Gala tercetak mendapati Pamungkas manyun.

Kemiskinan Yang Tak TerlihatWo Geschichten leben. Entdecke jetzt