Rival menggeleng cepat tanda tidak. "Sopir saya."

"Hm. Bucin ya."

"Biasa aja." Rival memaki dirinya sendiri dalam hati. Mulutnya memang susah dikontrol.

"Oh, biasa." Bumi manggut-manggut. "Kenapa telat? Kamu tau kan saya nggak suka nunggu?"

Astaga, telat tiga menit aja ngomelnya udah kaya telat lima jam, batin Rival menggerutu.

"Saya abis beli restoran sama villa." Rival menjawab seadanya. Ia tadi memang disuruh Papanya seperti itu. Biasa, orang kaya. Kaum kentangers tak mungkin paham.

"Ouh." Bumi manggut-manggut lagi. Mulutnya sudah ingin berbicara tapi tidak jadi karena melihat Cahya menghampirinya. Cahya juga sudah ganti memakai baju santai.

Cahya dan Rival beradu pandang. Dengan tidak ada akhlaknya, Cahya malah memeletkan lidah memancing emosi Rival.

"Gue hukum lo nanti," ucap Rival tanpa suara. Hanya mulutnya yang komat-kamit.

"Hukum apa?" sambung Bumi.

Astagfirullah.

Rival lupa masih ada monster di depannya. Pergerakannya sekecil apapun bisa ditebak oleh calon mertuanya ini.

"Rival becanda kok, Pa."

Bumi tak menghiraukannya perkataan Cahya. Sekarang, matanya fokus pada gelang yang melingkar di tangan putih anaknya. Dulu, Bumi juga pernah memberikan gelang seperti itu ke belahan jiwanya. Bumi tahu betul apa kegunaan gelang itu.

"Kamu punya gelang ini dari mana?" tanya Bumi membuat Cahya maupun Rival fokus kepada gelang itu.

"Dikasih sama Rival."

Bumi tertegun sesaat. Lagi, Bumi dibuat kagum oleh cowok boncel ini. Ia yakin Rival memperlakukan putrinya sebaik mungkin. Yang Bumi heran, Rival dapat gelang itu dari mana? Karena gelang itu termasuk limited edition. Bahkan Bumi dulu mengeluarkan uang banyak untuk membelinya.

"Sana ambilin Rival camilan," suruh Bumi agar putrinya pergi. Cahya menurut lalu beranjak ke dapur meninggalkan ayahnya dan pacarnya berdua.

"Kamu beli dari mana, Rival Antergio?" tanya Bumi membuat jantung Rival berdebar hebat. Ia sudah was-was jika ada orang yang memanggilnya dengan nama lengkap.

Rival tersenyum kikuk sebelum berkata, "nggak tau, Om. Saya cuman nyuruh orang buat beliinnya."

"Kamu kaya?"

Aduh, Rival jadi salah tingkah sendiri.

"Nggak kaya sih, Om." Rival merendah diri. "Tapi kalo buat beli sertifikat alam semesta kayanya bisa kebeli," ujar Rival bercanda. Ia cengengesan.

Bumi hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. "Beli sertifikat neraka aja, kamu kan cocoknya di sana."

"Astaga, Om. Candaannya jangan terlalu psychopat gitu deh." Rival lalu tertawa garing.

"Hm."

Sabar Rival, kalo bukan Om Bumi, udah gue santet ini orang dari lama, batin Rival kesal.

RIVAL (End) Revisi Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ