66. Enam-enam

Mulai dari awal
                                    

Cahya masih tetap memberontak membuat Rival oleng. Mata Rival melotot galak kepada Cahya. "DIEM ATAU GUE BANTING?!" sentaknya.

"Jahat ...," lirih Cahya. Raut wajahnya berubah muram.

Rival merasa bersalah, ia mempercepat langkahnya menuju taman sekolah. Salah Cahya sendiri membuatnya emosi. Setelah sampai, Rival langsung menurunkan Cahya dari gendongannya dengan hati-hati.

Cahya menunduk membuat Rival mengangkat dagunya. Cahya mendongak, dua pasang mata itu saling beradu pandang. Satunya memandang sayu, satunya lagi memandang dengan tatapan tajam.

"Tau kan apa salah lo?" interogasi Rival.

"Gue nggak sadar gandengan sama dia." Suara Cahya melembut lalu tersenyum sok manis berniat meluluhkan.

Senyuman yang selalu membuat Rival terpana. Lagi-lagi Cahya mengandalkan itu.

Tahan Rival, jangan mleyot, batin Rival menguatkan.

"Kalo salah harusnya bilang apa hm?" tagih Rival. Kata-kata yang ia harapkan keluar dari mulut Cahya.

"Maaf Rival," ungkap Cahya pada akhirnya.

"Hm." Rival manggut-manggut. "Tapi lo harus tetep dihukum."

Detik selanjutnya, Rival langsung mendekap erat tubuh ramping Cahya. Tindakan itu membuat Cahya sedikit kaget, jantungnya langsung berdebar hebat ingin meledak. Rival memeluk seolah tidak ingin melepaskannya lagi.

Pelukan Rival mengerat, benar-benar bertujuan untuk membuat Cahya sesak napas. Sebenarnya, dari insiden Lionel itu Rival ingin memeluk Cahya tapi tak ada moment yang pas, apalagi Bumi yang sangat mengerikan seperti singa. Baru saat inilah terlaksana. Istilah gaulnya modus.

Kepala Rival  ia tenggelamnya di ceruk leher mulus serta harum milik Cahya. "Maaf ...," ucap Rival dengan suara serak. Tangannya kembali mengeratkan pelukannya. "Maaf, Lionel berhasil nyulik lo lagi. Maaf karena gue, lo jadi dalam bahaya. Maaf---"

"Ssssttt ... udah. Nggak pa-pa. Sekarang gue udah selamat," bisik Cahya menenangkan lalu membalas pelukan Rival.

Hembusan napas Rival menerpa leher Cahya membuatnya bergidik geli.

"Rival geli," ucap Cahya lalu terkekeh. "Jangan napas di leher."

Rival tertawa pelan lalu berpindah menaruh dagunya di atas kepala Cahya. Matanya memejam untuk menikmati moment ini. Pelukan yang sangat menenangkan, kehangatan menjalar ke badannya.

"Rival udah! Gue sesek napas."

Bukannya melepaskan, Rival malah semakin mengeratkannya. Ia menyembunyikan tubuh ramping Cahya dalam kungkungan-nya. Telinga Cahya bahkan bisa mendengar detak jantung yang berdentum hebat tidak normal. Tanda, Rival benar-benar jatuh cinta kepadanya.

"Jangan lama-lama, nanti dosanya banyak!" pesan Cahya. Suaranya meredam di dada Rival.

"Gue yang nanggung dosanya." Rival membalas dengan entengnya. "Nggak papa, Yang. Biar gue aja yang masuk neraka."

Pemikiran yang sangat Dajjal sekali bukan? Mungkin ini juga yang dinamakan bucin dunia akhirat, ah bukan, bucin sampai ke neraka.

Tidak heran Lego menjuluki Rival sebagai suhu-nya persetanan.

Pelukan itu terus berlanjut sampai Cahya benar-benar sulit bernapas. Rival benar-benar menghukum pacarnya kali ini. Hukuman sekaligus modus lebih tepatnya.

*****

Rival lebay, itu yang ada dibenak Cahya sekarang. Sudah sepuluh kali Cahya mencuci tangannya dengan sabun sampai bersih, Rival menyuruhnya mencuci berulang kali agar bekas tangan Kevin tidak lagi menempel. Lebay bukan?

Rival mengendus tangan Cahya yang masih basah. "Hm, bau negatifnya masih ada. Sana cuci lagi."

Mata Cahya memejam sebentar untuk mengatur emosi yang ingin meledak. "Ga mau. Tangan gue udah bersih," sanggah Cahya mencoba untuk lebih bersabar lagi.

"Masih banyak kumannya atuh," beritahu Rival dengan muka songong-songong minta dihajar.

"Tangan gue udah keriput karena kedinginan, Rival." Cahya menunjukkan tangan lentiknya.

Kedua alis Rival menyatu seperti sedang memperhatikan. "Kasih zer-zer itu biar kumannya mati!"

Dahi Cahya mengernyit bingung. "Zer-zer apaan?!"

"Ck. Hanazer-zer itu yang buat tangan."

"Hand sanitizer!" sentak Cahya emosi. Ia langsung mengambil hand sanitizer yang ada di sakunya lalu memakainya di tangan.

Rival memperhatikan dengan cengar-cengir. Melihat Cahya kesal itu lucu di mata Rival.
"Eh, tangan lo kenapa merah?" kaget Rival ketika melihat pergelangan tangan kiri Cahya.

Mata Cahya melirik sinis Rival. "Nggak usah sok bego. Lo yang buat tangan gue gini."

Rival langsung meraih tangan kiri itu. Ia baru sadar tadi mencengkram erat tangan Cahya. Dengan telaten Rival meniupinya lembut lalu dilanjut dengan elusan ibu jari Rival di bekas memerah itu.

"Maaf." Rival mengucapkan kata itu lagi.

"Hm."

Rival menatap lekat mata Cahya. "Gue kesurupan tadi."

Cahya memalingkan wajahnya tak mau melihat Rival. "Lo selalu marah kalo gue disakiti Lionel, tapi secara nggak sadar lo juga sering nyakitin gue," lirih Cahya mulai baper. Ini juga jadwal ia datang bulan makanya sedikit sensitif. Tangannya ia tarik dari genggaman Rival.

"Utututututuu ... sini peyuk," ujar Rival dengan suara anak kecil di lebay-lebay kan membuat Cahya muak. Kedua tangan cowok itu juga direntangkan mengode Cahya untuk masuk ke pelukannya.

"Mau pulang."

Rival menghela napasnya berat. Artinya, Cahya benar-benar marah saat ini. Biasanya jika ia becanda, akan dibalas candaan juga. Tapi kali ini, malah mengalihkan pembicaraan.

"Belom waktunya pulang, Cahya."

"Mau pulang!" Cahya berkata sekali lagi dengan nada penuh penekanan.

"Lo putri sekolah, nggak boleh bolos." Rival mencoba memberi pengertian.

"Oh, iya. Ya udah mau ke kelas." Cahya badmood.

Rival mengembuskan napasnya. Berusaha sabar. Ponselnya berdering membuat Cahya juga ikut penasaran. Rival mengambil ponsel di sakunya lalu melotot membaca nama si pemanggil.

Om Bumi camer psychopat Is calling!

Hukuman dan ceramah menanti Rival!

****

RIVAL (End) Revisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang