Rily menghela napas panjang saat melihat kursi panjang taman belakang sekolah yang sepi dan belum ada Raka di sana. Ia tetap melanjutkan langkah kakinya dan duduk di atas kursi panjang itu. Rily mendongak, menatap lamat pohon rindang dan besar yang melindungi dirinya dari paparan sinar matahari.

Sekilas, ingatan-ingatan saat bersama Raka berputar memenuhi isi kepala Rily. Dari awal ia bertemu dengan Raka di taman belakang sekolah sampai pertemuan-pertemuan mereka selanjutnya. Semakin jauh pikiran Rily berkelana, dadanya semakin sesak dan matanya memanas. Rily dengan cepat menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepis semua pikiran buruk itu jauh-jauh dari pikirannya. Ia menurunkan pandangannya dan menyeka kedua pelupuk matanya yang basah.

"Ril?"

Mendengar suara berat yang begitu khas dan familiar di telinga Rily, ia langsung menoleh ke samping saat melihat Raka duduk di sampingnya dengan wajah datar andalan lelaki itu seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. "Kak?" Rily berdeham pelan dan berusaha menampilkan senyum ramah yang sangat menyakitkan.

"Bolos?" tanya Raka menatap lamat gadis di hadapannya. "Kenapa nyuruh ke sini?"

"Masih nanya?" gumam Rily pelan lalu terkekeh. "Eung ... Aku boleh kan, nanyain sesuatu?"

"Boleh, nanya apa Ril?"

"Perempuan yang tadi pagi Kak Vian peluk di tengah lapangan itu siapa?" Rily menahan diri agar tidak bergetar, ia sekuat mungkin berbicara normal tanpa memperlihatkan sakit yang ia rasa saat menanyakan perihal wanita itu.

"Teman," sahut Raka pelan dan mengelus puncak kepala Rily lembut. "Jangan terlalu dipikirin ya, dia cuma teman aku."

"Teman ... ?" tanpa sadar Rily terkekeh pelan. "Cuma teman?" ulangnya dan menatap tidak percaya Raka. "Kalau dia cuma teman, kenapa Kak Vian tinggalin aku gitu aja di lapangan tadi?"

"Ril---"

"Aku pacar kamu kan? Tapi kenapa Kak Vian lebih prioritasin orang lain, kenapa ninggalin aku gitu aja seolah-olah nggak ada yang spesial di antara kita?"

"Ril, dengarin aku dulu---"

"Kak Vian tahu nggak sih, sakitnya gimana?" Rily menatap Raka penuh luka. "Kak Vian tahu, gimana aku khawatirnya aku sama hubungan kita? Tahu nggak?"

"Ril," Raka mencoba untuk menghentikan Rily agar mendengarkan penjelasannya.

"Kalau aja tadi Kak Vian langsung jelasin dia siapa, mungkin semua nggak akan sekacau ini---"

"Dia cinta pertamaku," tukas Raka cepat memotong ucapan Rily.

Rily refleks mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dan menatap nanar Raka. Air matanya tidak tahan untuk tidak menetes, membasahi pipi cubby gadis itu. Rily tidak mengatakan apa pun, ia hanya menatap Raka dan menunggu lelaki itu melanjutkan ucapannya.

Raka menghela napas dan mengacak rambutnya frustasi. "Namanya Aleta, dia sahabat gue dari kecil. Dulu, kita punya banyak mimpi dan janji yang pengin kita raih sama-sama pas dewasa nanti. Tapi, dia harus pergi ke Australia dan ninggalin gue gitu aja tanpa jejak sama sekali. Gue frustasi, gue patah hati, dan menutup diri dari siapa pun. Karena dulu, cuma Aleta satu-satunya yang paham sama kondisi gue dan paling ngerti keadaan gue."

Air mata Rily semakin mengucur deras, namun ia menahan isakan tangisnya agar Raka terus bercerita tentang kisah lelaki itu bersama gadis bernama Aleta. Walau pun, setiap kata yang Raka ucapkan sangat menyakiti hati Rily. Rily tetap ingin mendengarkan lelaki itu.

"Ingat pertama kali kita ketemu, di taman ini pas lo nangis?" Raka menoleh ke arah Rily yang sedang menangis, tanpa menunggu jawaban gadis itu, Raka tetap melanjutkan ucapannya. "Lo, hampir setiap yang ada di diri lo, ada di diri Aleta. Ceria, baik, polos, berisik, dan banyak hal lain yang buat gue ngerasa kalau di dekat lo, gue ngerasa lagi sama Aleta."

"Hm?" sebuah batu besar terasa seperti menghantam keras dada Rily, menghimpitmya hingga membuat sesak yang teramat sakit di dada gadis itu.

Raka menatap Rily dengan tatapan kosong.  "Maaf, tapi itu alasannya."

Rily menutup mulutnya dengan telapak tangan, ia menggelengkan kuat-kuat kepalanya karena tidak ingin sebuah prasangka buruk yang kini menyelimuti hatinya benar. "Jangan, jangan bilang apa pun lagi, cukup!" Rily bergerak mundur dari duduknya.

"Gue minta lo jadi pacar gue, karena gue nganggap lo sebagai Aleta." Raka tersenyum tipis. "Gue brengsek, kan?"

Tangis Rily langsung pecah saat itu juga. "Jadi selama ini, semua perlakuan Kak Vian ke aku itu palsu?" tanya Rily di sela-sela isak tangisnya yang memilukan.

Raka tidak menjawab pertanyaan Rily, ia menatap Rily dengan tatapan datar yang kosong. "Gue nggak tahu jawaban pastinya, tapi kalau lo mau put---"

"STOP!" teriak Rily nyaring, bahkan ia sampai berdiri dari duduknya. "Jangan pernah ucapin kata itu! Jangan sampai!" Rily mengatur napasnya yang memburu dan menatap nanar Raka. "Segampang itu Kak Vian mau akhirin hubungan kita? Huh?"

"Ril, ini demi kebaikan lo." Raka berdiri dan berjalan mendekat ke arah Rily. "Gue nggak mau nyakitin lo lebih jauh lagi, lo berhak buat benci dan ninggalin gue."

"Hiks .... " Rily menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, ia menangis cukup lama dan menurunkan kedua telapak tangannya yang menutupi wajah. "Kasih aku kesempatan," lirih Rily dengan suara serak.

Raka menatap Rily dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "Lo bakal terluka lebih dalam lagi---"

"Aku nggak mau putus!" teriak Rily dan menatap Raka penuh keberanian. "Kasih aku kesempatan buat buktiin ke Kak Vian kalau aku pantas dipertahankan, kalau aku Rily, bukan Aleta!" tegas Rily dengan dada yang menggebu-gebu menahan emosi.

"Ril?"

"Biarin aku perjuangin cintaku Kak, aku nggak mau patah hati buat kedua kalinya. Jangan hancurin harapan aku, sekali ini aja." Rily menampilkan senyum palsu yang terpatri di bibirnya. "Terserah Kak Vian mau nganggap aku cewek bodoh atau murahan, atau bahkan nganggap aku udah nggak punya harga diri lagi. Selagi Kak Vian mau ngasih kesempatan buat aku, aku baik-baik aja."

Raka mengepalkan kedua tangannya, berusaha meredam emosi yang membara di dalam dirinya karena tahu bahwa ia sudah sangat menyakiti hati gadis mungil di hadapannya. "Oke,"

Rily tersenyum senang dan mengusap kedua pipi cubbynya yang basah. "Makasih!" sahutnya riang dengan suara serak.

Rily berlari pelan ke arah Raka dan memeluk Raka erat, membuat Raka yang belum siap hampir terhuyung ke belakang jika saja Raka tidak sigap menahan tumit kakinya.

"I love you .... "

Raka mematung.

You Hurt Me!Where stories live. Discover now