21: Teardrops

105 13 2
                                    

Part 21: Teardrops

Akhirnya, kasur.

Aku buru-buru merebahkan badan yang terasa remuk di atas sana tanpa mengeluarkan suara sedikitpun karena ketiga teman sekamarku sudah terlelap. Lagipula, aku juga tidak ingin mereka bangun karena aku yakin mereka akan kembali membordardirku dengan pertanyaan.

Di saat sudah seperti ini, mataku tidak mau menutup. Aku masih memikirkan jawaban San atas ucapanku yang mengatakan padanya bahwa aku berniat melanjutkan rencana Felix yang belum sempat terlaksana.

Flashback on...

"Apa?"

Seluruh emosi yang berada di dalam San luntur begitu saja usai mendengar tuturanku. Ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.

"Beritahu aku seluruh rencana yang hendak Felix lakukan. Aku akan melanjutkannya." Tegasku.

San menatapku dengan tatapan tidak percaya sebelum tawanya meledak. Hal sama yang akan aku lakukan jika aku menjadi dirinya. Seorang anak pejabat di tempat di mana banyak orang disiksa yang ingin melanjutkan rencana melawan ayahnya beserta jajaran-jajarannya. Terdengar seperti bualan konyol.

"Kau? Seorang Everett yang masuk ke kamp karena mempunyai emosi ingin melanjutkan rencana Felix? Tolong bilang kau mengutarakan keinginanmu itu padaku agar aku tidak memukulmu."

San yang mengolok-olokku entah mengapa malah membuatku tambah yakin dalam merealisasikan ucapanku tadi. Untuk sekarang, aku hanya perlu tahu apa saja rencana-rencana Felix terlebih dahulu sebelum memutuskan lebih lanjut.

"Tidak. Aku serius." Aku memasang wajah seyakin mungkin guna meyakinkan San. Lelaki dengan surai hitam itu akhirnya berhenti tertawa. Tetapi, sorot matanya tetap memandangiku, mengejek. "Tapi, aku tidak tahu apa saja rencana-rencana Felix. Jika kau mau berbaik hati, memberitahunya padaku, aku akan berusaha untuk mewujudkannya dan membuktikan bahwa aku benar-benar tidak berada di sisi Ayahku."

Sepertinya ekspresi serius ku berhasil pada San. Buktinya laki-laki itu kini tidak lagi memandangiku dengan hina lagi. Benih-benih kepercayaan mulai tumbuh di dirinya karena betapa berapi-apinya kalimatku tadi.

"Kau benar-benar serius dengan ini Jean? Sesaat setelah aku memberitahu apa saja rencana-rencana yang disusun oleh Felix, kau harus menjalankannya."

Sejenak aku terdiam. Masih terdapat keraguan di dalam diriku. Keraguan yang cukup besar.

Apa aku bisa? Apa aku mampu? Bagaimana jika aku malah berakhir mengecewakan orang-orang yang berharap padaku? Terlebih lagi, bagaimana jika nasibku berakhir seperti Felix.

Aku langsung menggelengkan kepalaku ketika pikiran tersebut terbesit di kepalaku.

Tidak. aku bisa. Kau pasti bisa Jean Everett.

Usai memantapkan hati, aku menatap San dengan penuh keyakinan, kuanggukan kepalaku padanya. "Akan kubuktikan kalimat-kalimatku tadi, San. Aku serius."

Aku mungkin salah lihat atau apa, tetapi, sekilas aku menangkap senyuman tipis terukir di wajah dingin San. Namun, saat aku hendak memastikannya lebih lanjut, San buru-buru memutar tumitnya membelakangiku.

"Duduk. Aku akan mengambil beberapa hal terlebih dahulu."

Tanpa banyak bertanya, aku mengindahkan permintaannya dan duduk di kursi yang sempat kududuki tadi sebelum San memukulku. Aku meringis pelan ketika rasa sakitnya kembali mendera.

Aku duduk manis sembari menunggu San yang menghilang dibalik papan tulis besar yang ada di depan. Dirinya kembali usai dua menit, membawa setumpuk folder berisikan kertas-kertas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 04, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

debacle of emotionsWhere stories live. Discover now