01: Emotion? Erased

209 32 1
                                    

"Jean Lee Everett."

Jean?

Siapa dia?

Nama malaikat? Seingatku, bukan. Dan sepertinya tidak mungkin juga aku akan bertemu malaikat.

Setelah melalui sebuah palung tanpa ujung yang bahkan lebih gelap dari langit malam, aku jatuh ke dalam sebuah ruangan berwarna putih. Hanya putih, tanpa noda ataupun warna lain sedikit pun.

Aku sempat berpikir apakah aku berada di neraka.

Tapi kenapa hanya ada warna putih? Bukankah neraka yang diceritakan oleh orang-orang berada jauh di perut bumi dengan api berkobar dan iblis yang siap menghukummu atas dosa-dosa yang diperbuat selama hidup di dunia?

"Namanya Jean Lee Everett." Ucap suara yang sama. Suara lembut yang hangat tetapi entah mengapa terdengar amat... Datar? "Bagaimana? Apa kau setuju, Brian?"

Kelopak mataku yang terasa amat lengket akhirnya terbuka. Sinar yang berasal dari lampu di atasku membuatku mengernyit kesilauan. Aku mencoba meregangkan otot-ototku yang terasa kaku.

Aneh. Kenapa aku merasa badanku ringan sekali?

"Aku setuju saja. Terserah dirimu."

Seketika kepalaku menoleh ke arah suara yang baru saja kudengar.

Seorang wanita berparas cantik, amat cantik sedang terbaring di ranjang. Apa itu ranjang? Terlihat seperti itu, tetapi bentuknya sangat aneh. Amat tipis dan tidak ada penyangga nya sama sekali. Seperti melayang.

Wanita dengan rambut hitam bergelombang itu terlihat sedang menatap lurus ke arah seorang pria bersurai cokelat tua sedang berdiri tegap dengan ekspresi yang sama datarnya seperti yang ditunjukkan wanita yang berbaring di ranjang.

Aku tanpa sadar bergerak memanggil mereka.

"Ang!"

Hah?

Apa yang baru saja aku katakan barusan?

Ang?

Suaraku yang cukup keras itu menarik perhatian pria dan wanita tersebut. Mereka saling bertatapan sebelum bibirku kembali bergerak tanpa kemauanku.

"Ang! Ang! Uwaa!"

Aku benar-benar dibuat kebingungan setengah mati dengan suara-suara yang keluar dari mulutku. Seperti digerakkan oleh sesuatu yang tak kasat mata, tangan dan kakiku mulai bergerak bagaikan orang mengamuk. Kebingungan yang semula memenuhi diriku tergantikan menjadi keterkejutan ketika melihat kaki dan tanganku.

"Apa ini semua?!"

Begitulah kalimat yang kira-kira kubayangkan akan keluar dari mulutku. Tapi yang terucapkan adalah bahasa bayi.

"Suzy. Apa kita perlu panggil dokter?" tanya pria berambut biru gelap yang kuketahui sepertinya bernama Brian itu.

"Sepertinya tidak perlu. Itu hal yang biasa bayi lakukan, bukan?"

Kalimat wanita itu seakan menjelaskan situasi yang kuhadapi. Di dunia baru setelah aku melewati kematian.

Karena aku meronta-ronta terlalu heboh, tanganku tak sengaja terbentur dinding bassinet dengan keras. Saking kerasnya bahkan sempat ada keheningan sejenak sebelum suara tangisanku, atau suara tangisan tubuh bayi tempat jiwaku berada memenuhi ruangan.

Aku menangis histeris.

Tetapi yang dilakukan dua orang itu hanyalah memandangiku dengan tatapan aneh sebelum wanita bernama Suzy itu meminta Brian untuk memanggilkan dokter.

debacle of emotionsOnde histórias criam vida. Descubra agora