20: The Unexecuted Plans

58 15 4
                                    

Part 20: The Unexecuted Plans

Kaki Yazmine tidak henti-hentinya bergerak. Ia sesekali mengigiti jarinya sambil menatap ke arah pintu kamar baru nya ini.

Pip!

Pintu terbuka. Gadis bersurai pirang itu langsung beranjak berdiri disambut dengan tatapan aneh yang diberikan teman sekamarnya.

"Hah..."

Sosok yang Yazmine ketahui bernama Winter itu menghela nafas panjang sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Matanya terlihat amat sembap. Hidungnya juga merah dan sesekali ia tersengut. Persis seperti orang yang habis menangis.

"Hei. Apa kau—" Pertanyaan yang hendak Yazmine lontarkan dipotong dengan diangkatnya tangan Winter, menyuruhnya diam.

"Jika kau ingin bertanya bagaimana hal bekerja di sini, tanya pada Dolores. Jika kau butuh sesuatu, tanya Dolores juga. Kau bisa menaruh barang-barangmu di nakas yang terletak di samping tempat tidurmu. Jika kau ingin berkeliling kamp, minta bantuan Dolores. AI sialan itu bisa melakukan apa saja."

Yazmine menggeser wajahnya yang ditutupi oleh telapak tangan Winter, "Aku tidak ingin bertanya tentang itu. Jean ke—"

"Tenang, pacarmu baik-baik saja dan sedang berada di kamarnya. Kau bisa mengontaknya esok pagi usai sarapan. Sekarang enyah dari pandanganku." Winter langsung menjatuhkan badannya di ranjang dan menutupi seluruh badannya dengan selimut.

Padahal pertanyaan yang hendak Yazmine tanyakan tidak ada jawabannya di Dolores. Gadis itu kembali duduk di atas kasurnya. Kembali menerka-nerka apa yang Jean dan gadis itu bicarakan, begitu juga dengan hubungan mereka sebenarnya.

---

"Hei, Everett!"

Sesaat setelah pintu terbuka, aku langsung disambut dengan sebungkus camilan yang Eric lemparkan padaku. Beruntung aku mempunyai reflek cepat, jika tidak cokelat batangan ini akan mencium hidungku.

Lino menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya, "Kemarilah. Kita punya gosip hangat, terbaru, ter ter lainnya."

Aku mengganggukan kepalaku sebelum mendudukkan bokongku di tempat yang Lino tunjuk.

Ketiga teman sekamarku yang semula masih cengegesan tiba-tiba merubah raut wajah mereka menjadi super serius. Membuatku jadi penasaran atas seserius apa gosip yang akan mereka sampaikan.

"Sebenarnya kau tidak tahu orangnya, sih. Tapi, tetap saja kau harus tahu demi mengikuti perkembangan berita di antar penghuni kamp." Tutur Eric, membuka pembicaraan.

"Ini juga bukan kasus baru di sini. Hanya saja kau mungkin terkejut karena di dunia luar sana jarang sekali terjadi hal seperti ini." Asahi menimpali.

"Oke. Langsung saja ke intinya," desakku.

Eric, Lino dan Asahi saling bertatap-tatapan. Mereka terlihat sedang bertukar telepati. Selama hampir dua puluh detik ketiga orang itu saling memandang satu sama lain sebelum Eric menggangguk dan diikuti dua orang lainnya.

Eric mengisyaratkan lewat tangannya agar aku mendekat kepadanya, "Mendekatlah."

Aku pun mengikuti permintaannya dengan mendekatkan badanku. Eric menaruh tangannya di samping mulutnya, lalu berbisik.

"Ada yang bunuh diri. Angkatan 34."

Rupanya mengenai Felix.

"Dia mantan prefek yang disanjung-sanjung seluruh penghuni D-Camp. Dulu sebelum ia tiba-tiba menghilang, ia kerap kali melakukan semacam pidato tersembunyi dan mengaspirasikan mengenai kebebasan kita semua di sini."

debacle of emotionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang