13: A Line of Scars

75 17 1
                                    

Part 13: A Line of Scars

Sudah lewat jam makan siang.

Kantin sudah sepi dan hanya ada beberapa karyawan manusia yang sedang memasukkan sisa makanan ke dalam paper bag. Sepertinya mereka hendak pulang.

Aku buru-buru mencegat mereka dan memesan makan. Sedangkan Yazmine menunggu di salah satu meja yang ada di sana ditemani oleh kedua petugas keamanan yang sedari tadi tidak melepas tatapannya dariku.

Setelah makanannya jadi, aku segera menghampiri meja tempat Yazmine duduk dan menyodorkan nampan berisi semangkuk sup jagung.

Saatnya melakukan Act 2.

Yazmine menyendokkan sup nya dengan tangan bergemetaran hebat. Hal itu tentu saja membuat sup nya jatuh mengotori pakaiannya.

"Aduh, cerobohnya aku," gumam Yazmine. "Frederick, bagaimana ini? Nenek tidak sengaja menumpahkan sup nya."

Aku segera berdiri dari tempat dudukku. Di dalam naskah akting kami hari ini, sebenarnya tertulis jika aku hanya perlu pura-pura mencoba membersihkan makanan dari baju Yazmine. Tapi, sepertinya, lagi-lagi Sang Penentu Takdir ingin ikut dalam sandiwara kami sehingga aku tanpa sengaja menginjak tali sepatuku. Alhasil aku tersandung dan tanpa sengaja menyenggol mangkuk berisi sup tersebut. Alhasil bukan hanya sesendok sup yang jatuh mengenai baju Yazmine, tapi semangkuk.

"Astaga. Nenek, maafkan aku." Bisa kurasakan tatapan membunuh yang ditujukan Yazmine kepadaku saat ini. "Ayo kita bersihkan dulu di kamar mandi, Nek."

Seperti yang sudah bisa ditebak, kedua petugas keamanan itu juga membuntuti langkah kami menuju kamar mandi.

Aku terlebih dahulu mendorong Yazmine masuk ke dalam kamar mandi dengan tas yang sedari tadi kuselipkan di dalam jaketku. Sekarang, saatnya untuk melaksanakan Act 3. Akting terakhir kami. Semoga berhasil juga.

"Frederick, bisakah kau membantuku membersihkannya?" tanya Yazmine dari dalam kamar mandi.

"Tentu saja, Nek." Sahutku. Di saat aku hendak melangkah masuk ke dalam kamar mandi, petugas keamanan yang memang tidak pernah berdiri lebih dari dua meter itu mengikuti langkahku. Dengan cekatan aku segera mengangkat tanganku, menghalau gerakan mereka.

"Maaf, tuan-tuan sekalian. Nenekku punya penyakit kulit tahunan yang sangat menyeramkan. Akan kupastikan kalian tidak akan ingin melihat betapa menjijikannya penyakitnya itu. Ah, jika boleh kuberi gambaran, kulitnya seperti sarang lebah dengan nanah yang berada di tiap-tiap bolongan, lalu—"

"Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, Tuan Downey. Kami akan menunggu di depan sini."

Lagi-lagi aku bersorak puas di dalam hati, tentunya.

Tanpa membuang-buang waktu, aku lekas masuk ke dalam kamar mandi yang tentu saja umum.

Di zaman tanpa emosi ini tidak ada lagi kasus pelecehan seksual sehingga pembatasan antar gender seperti toilet ini contohnya, ditiadakan.

Sesampainya di dalam, Yazmine sudah rapi dengan pakaian khas kantor. Penampilannya amat berbeda dari sebelumnya.

Gadis itu melempar pakaianku sesaat setelah aku masuk.

"Terima kasih atas siraman sup nya, Jean." Ketusnya diikuti dengan tatapan sinisnya tertuju padaku. Jadi itu alasan mengapa wajahnya terlihat gusar.

"Aku tidak sengaja tahu!"

Yazmine mencibir jawabanku. Tidak ada hari tanpanya bersifat menyebalkan. Aku mengalah dan segera mengganti pakaianku di salah satu bilik di sana.

"Jean. Ambil." Yazmine meraih tanganku dan menaruh sebuah id card dengan identitas seseorang yang sepertinya bekerja di sini.

debacle of emotionsWhere stories live. Discover now