03: No Emotions Involved, Son

145 29 3
                                    

Part 3: No Emotions Involved, Son

"Pa! Lihat! Jean sudah tidak bereaksi lagi ketika aku menempelkan es di perutnya!" Pekik Laudine.

Hah.

FIrasatku pada malam itu ternyata benar.

Walaupun bisa tidur di kasur empuk serta makan makanan mewah setiap hari, sejak gigiku tumbuh dan aku bisa berjalan, saran yang Laudine cetuskan itu benar-benar dilakukan.

Awalnya, aku hanya mengganggap enteng sarannya itu. Tinggal memasang wajah datar, bukan? Tidak susah sama sekali bagiku yang di kehidupan sebelumnya sangat mahir mengatur ekspresi agar para guru tidak jadi menghukumku.

Itu yang kupikirkan sebelum Brian, atau yang kini kerap kupanggil sebagai Pa mulai memberiku pelatihan agar tidak menunjukkan emosiku.

Pelatihan berkedok penyiksaan lebih tepatnya.

"Bagus. Latihan hari ini kita sudahi saja. Besok jadwal latihan emosi bahagia. Bersiaplah." Brian menepuk pelan bahu telanjangku sebelum berlalu masuk ke dalam disusul oleh Laudine.

Suzy yang memang sejak awal tidak terlalu setuju dengan usulan Laudine, segera menyampirkan selimut tebal guna menutupi tubuhku yang hanya dibalut celana piyama pendek saja ditengah-tengah dinginnya musim dingin.

Ini merupakan salah satu pelatihan yang rutin dilakukan setiap musim dingin untuk membuatku tidak mengeluarkan ekspresi saat dinginnya es menyentuh tubuhku.

Terdengar ekstrem, bukan?

Setengah telanjang di tengah derasnya salju. Tapi ini termasuk dibanding pelatihan lainnya yang lebih kejam.

Akan aku sebutkan beberapa.

Pada ulang tahunku yang kedelapan, bukannya memberi hadiah, Brian malah menyuruhku untuk memasukkan kedua tanganku ke dalam boks berisi kepiting yang masih hidup.

Jika aku berteriak atau menampilkan wajah kesakitan, Brian menambahkan jumlah kepitingnya.

Gila? Memang.

Tapi itu bukan yang terburuk.

Aku ingat sekali. Saat itu, di malam Natal yang indah, kami berempat sedang menonton televisi bersama. Lalu, tiba-tiba Brian mengganti film komedi yang tengah kami tonton dengan film horor dengan label 'film horor termenyeramkan sepanjang masa'.

Masih kuingat dengan jelas kalimat yang diucapkan Brian saat itu.

"Tonton film ini sampai habis. Kau tidak boleh berkedip, berjengit apalagi menjerit. Jika kau menunjukkan ekspresi sedikitpun, kau tahu sendiri konsekuensinya apa."

Dengan penuh percaya diri aku mengganggukan kepala dan menyetujui perintahnya. Setelah mereka bertiga pergi meninggalkan aku di ruang keluarga dengan lampu dimatikan, neraka yang sesungguhnya dimulai.

Kukira embel-embel film horor termenyeramkan sepanjang masa itu hanyalah bualan belaka. Seperti kebanyakan film-film horor yang kutonton sebagai Jeno dengan judul yang sama, tapi sebenarnya tidak ada menakut-nakutkannya sama sekali.

Dan, seperti yang sudah kalian mungkin bisa tebak, film itu benar-benar mengerikan.

Dalam durasi tiga jam penuh itu, aku berusaha mati-matian untuk tidak menampilkan ekspresi, bahkan berkedip pun tidak kulakukan.

Film penuh jumpscare, pemain yang saling gorok-menggorok, hantu dengan wajah hancur itu kutonton dengan penuh penghayatan.

Alhasil, selama tiga malam aku tidak bisa tertidur karena bayang-bayang wajah salah satu aktor yang mencabut sendiri bola matanya itu menghantui di setiap nafas yang kutarik.

debacle of emotionsWhere stories live. Discover now