"Gue sebenernya nggak sudi--"

"Sama." semburan Takshaka tertahan dalam tenggorokan sebab Danisha dengan gesit memotong kalimat pemuda itu yang sudah pasti mengandung sejuta jarum yang siap ditusukkan padanya.

"Gue belum selesai, Gladis! Jangan pikir gue lupa sama perkara yang lo buat malam itu, jadi jangan pancing emosi gue lagi." Ah, rupanya pemuda ini tidak lupa. Tapi hey! Danisha tak pernah memancing emosinya, pemuda itu saja yang punya kelebihan stock amarah untuk Danisha.

Danisha mengamati bekas luka yang tergurat tipis di rahang Takshaka, perempuan itu lalu menyeringai puas. "Bagus lo nggak lupa. Masih inget rasa sakitnya, kan?" Tatapan Danisha kemudian turun mindai tubuh Takshaka. Refleks, pemuda itu melindungi bagian bawah nya.

"Sialan!" Umpatan pertama Takshaka lepas untuk Danisha.

Perempuan itu tertawa dalam hati atas spontanitas Takshaka yang melindungi dirinya. Bagus lah. Memang harus begitu. Bocah ini harus punya sedikit rasa takut pada Danisha yang notabenya punya umur jauh diatasnya.

"Apa inti dari akting lo kali ini? Main talik ulur perasaan? Berhenti ngejer gue supaya gue nyesel dan balik ngejer lo? Biar apa begitu? Supaya orang-orang tau cinta lo bersambut?"
Waktu berjalan terasa lambat, mereka bahkan tak menyadari jika pagi sudah meninggalkan dinginnya.

"Cinta? Apa perlu ngungkit hal ini saat gue nunjukin bahwa rasa itu udah lenyap." Danisha sedikit geli akan pembahasan mereka.

"Lenyap? Mana mungkin. Lo hanya bersandiwara, dan gue bakalan buktiin kalau lo masih se-tolol yang gue, dan orang-orang tau."

Danisha mendengkus keras dengan kentara. "Mau pembuktian apalagi? Takshaka. Lo gali sampai ke dasar paling dalam pun rasa itu nggak akan ketemu. Cukup liat dengan mata telanjang lo, kalau sekarang nyata nya rasa itu udah sedatar jalan tol." Tentu, sebab dia adalah Danisha.

Takshaka memicing, melayangkan ancaman tersirat, menolak untuk percaya pada apa yang disampaikan Danisha. "Gue bakalan bongkar topeng asli lo."

Danisha memutar mata malas,
"--ya, ya, ya. Terserah." Dia mengibas tangan di depan raut masam Takshaka. Danisha melirik jam di pergelangan tangannya, jarum kecil itu menunjukan bahwa Danisha sudah sangat terlambat, sial ini semua karna meladeni bocah macam Takshaka yang tak ada habisnya. Masih pagi, tapi dia sudah panas-panasan karna emosi. "Gue berangkat sendiri," tukasnya membuat pemuda itu melotot tak terima. "Nggak perlu khawatir, gue kasih laporan sama Mama lo kalau kita berangkat bareng."

Danisha lantas dengan cepat berlalu ke arah mobil yang sudah menunggu di depan gerbang. Meninggalkan Tashaka dengan balasan menggantung yang tak sempat terucap, biarkan saja, emosi Takshaka itu tidak ada batas limitnya.

***

Bocah sialan! Umpatan balik dari Danisha untuk Takshaka, karna menempatkan dia dalam kondisi ini.

Perempuan itu meremat tali tasnya. Lagi-lagi dia berdiri dalam gundah dan perasaan asing yang membuncah. Sulit di deskripsikan hingga ia tampa sadar jadi gigit lidah. Di titik ini, di tempat Danisha berdiri, dia meresa semuanya akan dimulai.

Sesuatu...

Entah apa? Danisha tak tau.

Danisha memilih mengesampingkan tanya di benaknya. Berjalan menuju ruang kepsek untuk mendapat info perihal dimana ruang kelasnya berada.

Hampir mendekati tempat tujuan, tiba-tiba saja, Danisha yang berjalan pelan dan anggun tersandung oleh sesuatu hingga keseimbangan tubuhnya oleng ke belakang. Perempuan itu menutup mata, siap jika mendapati sakit menerpa punggung dan kepalanya. Namun tak disangka, ia malah terasa seperti mengambang.

The Plot TwistWhere stories live. Discover now