Sekilas lihat Danisha tau alurnya. Sekilas tebak Danisha tau ujungnya.

Tatapan tajam Danisha ternyata disadari oleh punggung telanjang itu. Dia berbalik dengan wajah kunyu memerah serta mata sayu, lalu membola saat menemukan figur Danisha berdiri tegap dengan raut tenang di depan pintu.

"Lo ngapain disini?!" Sentakan itu tak berhasil membuat Danisha mengubah ekpresinya.

"Sialan Gladis! Lo jemput bencana. Keluar! Keluar!" Teriaknya kalap. Mata sayu berselimut kabut gelap itu mamaksa untuk menatap Danisha tajam.

"Tunggu apalagi, keluar!"

"Pintunya dikunci dari luar,"

Kini pemuda itu terbelalak. Lantas menyugar rambutnya frustasi. Dia terlihat bersusah payah. Berusaha keras membakap dirinya, mengurung dirinya, dan menyeret kesadaran yang sudah setengah. Danisha prihatin, tapi...

"Lo sengaja! Lo memanfaatkan gue, memanfaatkan kesempatan. Dasar picik." Serunya. 

Danisha mendesis. Pemuda ini mulai lagi.

"Nggak ada manfaat yang bisa gue keruk dari lo yang ngak sama sekali berguna buat gue,"  Jeda sebentar. "Kesempatan juga digunakan untuk mereliasasikan sesuatu yang baik, dan lo, terlalu buruk, Takshaka." Mata keduanya berkilat dalam temaram malam. Begitupun dengan tubuh Takshaka yang sudah meremang, kesadarannya sudah mencapai batas nol.

"Mau bermain? Permainan kuda-kuda'an." ajaknya sudah hilang sadar. Membuat yang berada dibalik layar menyeringai giras menanti ekspetasi mereka.

Danisha menggeleng santai. Menolak.
"Mau permainan pembantaian,"

Takshaka tertawa gila. Dia memandangi Gladis alias Danisha yang tampak berbeda malam ini, tampak matang hingga mematik sesuatu yang membuat dia makin terasa terbakar. Dia sudah tak tertolong, lantas dihampirinya Danisha. Sedikit berdecih saat perempuan alih alih harusnya takut atau tergoda, malah terlihat tenang dan menantang....

Sedang Danisha sendiri, dibalik tenang yang ia tampakan sudah mengantongi  kewaspadaan tingkat tinggi saat predator mulai merangkak  hendak menerkamnya.

"Ayo Gladis. Bukannya ini yang lo mau?" Rayunya.

Alis Danisha terangkat, begitupun sudut bibirnya yang terangkat membentuk senyum remeh.

"Apa yang gue mau?" Tantang Danisha mengikuti permainan.

"Gue," Tanggap Taskhaka percaya diri. "lo selalu ingin gue."

Kali ini Danisha yang tertawa keras.
"Lo, Takshaka?" Nada meremehkan nya terasa pekat. "Dulu...itu dulu, bodoh. Sekarang, telanjang bulat sekalipun ngak bikin feromon gue bangkit sama bocah kurang ajar kayak lo, dasar bau kencur!"

Wajah pemuda itu makin padam merasa terhina. Takshaka lalu berlari hendak meraup Danisha. Tapi wanita itu dengan tanggap melabuhkan pukulan pada wajah Takshaka dengan tas be-pernak runcing yang tajam. akhirnya keinginan memukul pemuda itu saat pertamakali bertemu bisa tercapai. Rasanya lega.

"Gue menolak lo Takshaka. Sama sekali nggak ingin." Ungkapnya tampa terselip satupun keraguan. Membuat ekspetasi yang ada di belakang layar mulai goyah. 

Darah panas Takshaka makin menyelegak. Secepat kilat dia menyeret Danisha menuju ranjang. Membuat suasa makin berat. Tapi sedetik itu pula Danisha membalik keadaan. Dia dengan pertahanan kuat kembali melabuhkan pukulan pada wajah Tashaka, mencekik lehernya lalu mengayun kan kaki, dan....

"Arrgh!" Pemuda itu yang malah lusuh ke ranjang, tengkuknya pun dihadiahi pukulan oleh Danisha, hingga penglihatan mengaburnya makin gelap . Danisha tak memberi jeda pada kejutannya, dia sigap mengambil botol bekas alkohol lalu dengan ringan mengayunkannya hendak mengenai kepala Tashka. Nyaris saja, tapi...Danisha menyeringai pada sudut ruangan yang menampilkan titik merah berkedip, kemudian membuang botol itu asal.

Yang satu sudah selesai.

Tinggal meminta bayaran pada yang dua.

Lalu beres.

***

Dibalik layar. Duo onar menonton dengan lonjakan girang.

Pembuktian ini akan memenuhi spekulasi akurat mereka akan kepura-puraan serta perubahan Gladis yang mengundang banyak tanya.

Namun saat menit terus berlalu. Ekspresi wajah mereka tidak segiras tadi bahkan nyaris datar. Perlahan eskpetasi mereka memudar saat Gladis tepatnya Danisha tak memberi tanggapan berarti sesuai perkiraan mereka.

Bahkan saat suasa panas, Perempuan itu tidak memakan pancingan mereka. Bahkan tak sekalipun terlihat tergoda.

Mereka menolak untuk kalah. Bahkan saat suasana di kamar temaram itu sudah sangat jauh dari ekspetasi mereka. Bahkan saat erangan Takshaka tetap membuat mereka duduk meski berat, sampai ketika botol itu terangkat lalu terayun, sedetik itu pula pupil mereka melebar, secepat kilat berlari menuju  ruangan tempat pembuktian itu.

Menghentikan semuanya sekarang juga. Karna apa yang mereka harapkan sudah luluh lantah.

***

Sambutan saat pintu terbuka adalah tendangan maut yang serasa menyundul nyawa Yoga dan Soni keluar.

Mereka menunduk dengan erangan sakit. Persis seperti Tashaka tadi. Namun lebih keras.

Yoga dan Soni menatap kaki dengan sepatu hak tinggi yang menjulang dihadapan mereka. Sepasang kaki yang mengirim sakit luar biasa pada daerah vital mereka. Sekarang sudah ketahuan gunanya sepatu hak tinggi yang dikenakan Danisha.

Menggeram, "lo gila, Gladis!" Yoga berseru.

"Nggak. Kalian lebih sakit jiwa. Gue cukup waras untuk ngak menghilangkan nyawa teman kalian,"

"Arrgh! Damn Gladis, lo keterlaluan,"
Dua pemuda itu masih setia menunduk sakit dihadapan Danisha.

"Oho, setelah apa yang kalian perbuat sama gue-gladis, kalian masih bilang tindakan nggak seberapa ini dengan keterlaluan?" Perempuan itu tak habis pikir, "ngak heran, kalian memang bocah bodoh bajingan," tandasnya lagi.

Soni hendak bangkit menyerang Danisha, tapi perempuan itu menekan pahanya dengan kaki.

"Brengsek!"

Plak!

Sekarang mata Danisha berkilat bahaya. Dia menyorot Soni yang barusan mengumpatnya tapi kini terdiam.

"Kalian selalu ngehina gue murahan, tapi lihat yang kalian lakukan, lebih hina dan kotor," tatapanya beralih ke pada Yoga yang masih menahan sakit. "kalian selalu memandang gue rendahan, tapi lihat. Kalian yang bertekuk lutut di bawah gue. Sekarang siapa yang lebih rendahan,"

Danisha melewati dua pemuda yang masih terduduk dengan raut tercengan itu. Sampai diambang pintu, dia berbalik.

"Ini adalah bayaran yang gue tagih atas semua penghinaan kalian.  Semakin sering kalian berulah semakin tinggi biayanya. Hutang maaf kalian sebagai dendanya. Semakin lama kalian menunda untuk menebus kesalahan kalian, semakin besar bunganya. Nggak ada potongan harga, karna tentu, gue nggak mau rugi,"

Danisha lantas pergi. Dengan meninggalkan sisa kesakitan pada kedua pemuda itu yang mimik wajahnya kini sudah tergantikan oleh raut terhina.

Tbc

***

Danisha udah ganas belum?

Psst : ini belum masuk inti cerita. Tokoh lain juga belum muncul untuk memperkeruh cerita.

Ramaikan dengan komentar.
Atas vote⭐nya juga terimaksih.

Next

The Plot TwistWhere stories live. Discover now