Membuka pintu ruangan itu lalu menutupnya setelah masuk, Erza tidak yakin bisa memberikan sedikit rasa kepercayaannya kepada mereka semua yang tinggal ditempat ini. Mereka terlihat seperti musuh untuknya sekarang.

Bahkan saat Celin dan Celina menghilang, dia yakin mereka menyadarinya. Tapi apa yang mereka lakukan hanyalah diam tidak melakukan apapun.

Karena hal itu jugalah Erza menyetujui saran yang Zen berikan, dimana Erza memotong daging lengannya yang ditumbuhi mata untuk diletakkan dibeberapa tempat. Dengan begitu dia bisa mengawasi sekitar secara real time tanpa melewatkan apapun.

Meskipun sebagai ganti, tangan kirinya terlihat 2x lebih menggenaskan dari yang sebelumnya. Sebenarnya Erza sendiri juga baru mengetahui fakta jika mata yang berada dilengannya dapat digunakan untuk melihat. Rasanya seperti dia tidak memerlukan cermin untuk melihat wajahnya sendiri, dia bisa melihat keberbagai arah secara bersamaan.

'Seperti inikah menjalani hidup penuh drama, apa kau pikir aku terlalu hebat menjadi pemain drama pemula?'

'Tentu saja' jawab Zen, apa lagi yang bisa dia katakan. Tanpa dia melakukan apapun, gadis itu terlihat sudah mampu dengan dirinya sendiri.

Mengedarkan pandangannya setelah berdiri diam disana selama beberapa menit, Erza memincingkan matanya kesemua sudut ruangan juga rak buku yang ada. Mulai berjalan maju, mengitari rak buku besar yang ada diruang kerja Alex, Erza kembali menatapnya satu persatu dengan sangat teliti.

Ia mencari buku yang sempat dirinya dan Zen perdebatkan dalam perjalanan kemari, masalahnya Zen mengatakan jika buku itu suka bersembunyi. Apakah buku itu akan lari ketika melihat dirinya sudah mendekat, Erza tidak bisa memahami apa yang sebenarnya Zen ingin katakan.

'Aku melihatnya' ucap Zen tiba tiba membuatnya menoleh kesana kemari.

"Dimana?" tanya Erza kebingungan.

'Diatas, rak atas'

Erza mendongak dan mendapati sebuah buku bercahaya merah tepat diatas kepalanya, lalu meraba kepalanya sendiri. "Sejak kapan ada mata diatas kepalaku" tanya Erza kepada Zen, namun tanggapan yang dirinya dapatkan adalah amukan Zen.

'Kau bodoh, kenapa kau tidak mengambil bukunya! Buku itu bersembunyi lagi sekarang, lihat keatas'

Dan untuk yang kedua kalinya Erza mendongak, buku itu benar benar hilang dirak atas. Inikah yang dimaksud suka bersembunyi, sekarang Erza tidak yakin bisa kembali kekamar dengan cepat.

"Atau mungkin tidak" guman Erza menatap kesebuah benda yang tergantung disemua sisi dinding.

.

.

.

Menutup beberapa berkas dimeja, gadis itu menegakkan punggungnya sambil membuang nafas panjang. Mengambil cangkir teh yang ada didekatnya, Erza meminum teh itu dalam kedaan panas begitu saja dan kembali menghela nafas setelahnya.

Terdiam beberapa saat, Erza melirik kearah sebuah buku yang sedari tadi mengeluarkan cahaya merah menyilaukan mata itu sambil tersenyum. "Kau terlalu berlebihan memuji buku ini Zen, aku hanya perlu mematikan semua lampu dan lilin untuk melihatnya bersembunyi dimana" ejek Erza kepada Zen.

Namun Zen hanya diam menanggapi setiap celoteh yang Erza keluarkan, memang apa yang bisa dia katakan saat Erza juga bagian darinya. Memang perlu Zen akui Erza memiliki pola pikir cukup cerdik untuk menyelesaikan masalahnya, setidaknya sebelum gadis itu menjadi panik.

"Nona" panggilan lirih itu membuat Erza menoleh sebelum sempat meraih buku disampingnya, dia tersenyum kecil dan bangkit menghampiri mereka.

"Sudah selesai sarapan?" tanya Erza lembut berencana mengusap pucuk kepala mereka, namun melihat tangannya yang hitam gadis itu secara tiba tiba mengurungkan niatnya dan menjaga jarak dengan kedua anak itu.

Terlihat Celin dan Celina mengangguk sebelum saling melirik dengan tatapan sedih juga takut, kenapa Erza menjaga jarak dengan mereka. Apa karena nonanya tau jika mereka sudah kotor, jadi nona menjauhi dirinya dan saudarinya. Apa mereka akan dibuang lagi.

Celin dan Celina meneteskan air mata melihat Erza tidak mau mendekati mereka. Membuat Erza yang berdiri menunggu jawaban dari kedua anak itu terkejut kebingungan.

"Kalian masih merasa sakit? Atau ada luka lain?" tanya gadis itu panik setelah mensejajarkan tinggi mereka.

Menggeleng, mereka menjawab. "Apa nona akan membuang kami?" tanya Celin sambil menangis.

"Tidak, kenapa aku harus membuang kalian?" jawab Erza dengan lembut, memberi pengertian kepada mereka jika Erza menyayangi mereka.

"Lalu kenapa anda menjaga jarak dengan kami? Apa karena kami sudah-"

Erza menghentikan apa yang akan Celin ucapkan dengan menempelkan telunjuknya kebibir kecil anak itu. "Shht, aku menyayangi kalian dan akan tetap seperti itu. Apapun yang terjadi nanti, aku akan tetap disisi kalian" ucap gadis itu menatap lembut Celin juga Celina yang salah menangkap.

Kembali melirik kearah tangannya sekilas, Erza meringkus lengan pakaiannya, menunjukkan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin gadis itu perlihatkan kepada orang lain. Lengan tangan kirinya terlihat semakin menggenaskan dari yang sebelumnya, karena dia selalu mencongkel mata yang terus menerus tumbuh disana.

Ditambah dengan tangannya yang tidak lagi sehitam awal membuatnya terlihat mengerikkan, terlihat seperti bekas cabikan sesuatu. "Aku hanya tidak mau kalian melihat ini, apalagi aku seorang canibal. Aku takut jika aku mendekat, maka aku akan memakan kalian" terang gadis itu membuat keduanya berhenti menangis, mereka menggapai dan menggegam tangan Erza bersamaan.

"Wah, kalian lucu sekali"

"Bisakah aku memeluk kalian?"

'Siapa dia?' batin Erza terkejut juga kebingungan, bagaimana bisa dia tidak melihat pria itu berdiri disana.

.

.

.

Tbc

:)Kalian mau marah marah silakan...

Untuk kali ini aku beneran lupa buat update, terlalu menikmati hari sebagai pembaca:') sampai trouble bahasa. 

Aku akan berusaha update harian lagi, bukan hanya untuk novel ini saja tapi juga yang lain:') Maapkan aku:')

Sniper Mate: Demon BloodWhere stories live. Discover now