▪◾2️◾️▪

104 57 178
                                    

"Apa maksud kamu Ven?! Jessi itu benar-benar sedang mengalami gangguan seperti itu, mengapa justru kamu menyuruhnya untuk melakukannya?!"

Sedikit kuhentakkan gelas jar yang sedari tadi menyibukkan mulut dan tanganku. Aku mulai naik pitam, bagaimana tidak? Kaven menyuruh Jessi untuk mengikuti kegiatan seperti kemarin untuk mengurangi rasa takutnya, mungkin bukan mengurangi tetapi menambah rasa takut pada anak itu.

"Grace, ibu aku dahulu pernah menjadi psikolog. Saat aku menanyakan semua hal tentang Jessi, ia berkata bahwa cara mengatasi fobia seperti itu salah satunya menghadapinya langsung"

Aku terdiam mendengarkan ucapan Kaven, ibunya dulu psikolog? Mengapa aku baru tahu sekarang ya? Tapi ada benarnya, cara menghadapi suatu fobia yaitu dengan berlatih menghadapinya langsung.

"Jessi harus berusaha untuk melawan fobianya itu dengan cara mengahadapinya langsung. Mungkin akan ada reaksi yang sedikit sulit dijelaskan, tetapi perlahan gangguan itu akan menghilang terbawanya waktu. Jessi nantinya akan terbiasa"

Aku masih menelaah setiap kalimat Kaven.

"Ada beberapa faktor yang memicu munculnya suatu fobia. Mungkin adanya kombinasi dari pengalaman hidup, perkembangan otak, masalah genetika, ataupun mental seseorang"

"Kombinasi pengalaman hidup? Maksudnya seperti, trauma?"

"Ya, bisa jadi. Mungkin Jessi memiliki sesuatu yang ia sembunyikan dari semua orang"

▪◾️◼️◾️▪

"Mungkin Jessi memiliki sesuatu yang ia sembunyikan dari semua orang"

Kata-kata Kaven itu masih terus berputar pada kepalaku. Sebenarnya ayah dan ibu menyuruhku untuk tidak terlalu memikirkan masalah gangguan psikologis Jessi ini, tapi bagaimanapun aku tetap saja terpikirkan oleh itu.

"Apakah ayah dan ibu mengizinkanku untuk meminjam Jessi malam ini?" tanyaku pada  mereka berdua.

"Grace, kami tahu kamu sangat khawatir dengan kondisi Jessi. Tapi lebih baiknya kita patuh saja apa yang dikatakan psikolog Amora, karena ini mental seseorang. Jika kamu salah dalam memilih, akan berdampak panjang dikehidupannya"

Amora. Ia adalah seorang psikolog yang menangani Jessi akhir-akhir ini.

Aku mengangguk tanda mengerti dan paham. Kini aku harus melakukan yang mana? Duduk diam menunggu Jessi sembuh, atau turut dalam kesembuhan Jessi?

Aku meraih smartphone ku dan mencari nama kontak Kaven, aku menekannya dan dengan cepat layar langsung menuju aplikasi WhatsApp. Jariku menari lihai diatas keyboard, menunggu balasan dari Kaven sama saja seperti menunggu sebuah telur menetas.

Lama.

Dalam percakapan pesan  itu aku mengatakan kepada Kaven bahwa ayah dan ibu tidak mengizinkan untuk aku meminjam Jessi malam ini, dan aku juga mengajukkan pertanyaan 'apa yang harus aku lakukan selanjutnya?'

Jam menunjukkan pukul 21.25

Aku mulai jengah menunggu balasan dari Kaven, anak itu benar-benar tidak membuka pesanku! Setelah pikiranku memikirkan hal itu, tiba-tiba bunyi notifikasi masuk terdengar dari smartphone ku. Benar saja, terlihat bilah notifikasi jawaban dari Kaven.

Kaven

Besok kita bertemu di kafe tempat biasa, jam 3 sore.

THE [UN]SEEN SHADOWWhere stories live. Discover now