Tentang Renjun dan Dunianya;

1K 187 13
                                    

Tentang Renjun dan cerianya, Jeno suka. Bagaimana suara lembut yang mereka sebut sebagai tertawa itu meluncur bebas melalui indera pendengarannya. Menerbangkan kupu-kupu yang entah sejak kapan tumbuh di dalam dada.

Tentang Renjun dan dukanya, Jeno benci. Bagaimana mata bertabur indahnya langit malam itu dipenuhi kabut merah padam, menyimpan banyak air yang bisa jatuh tanpa kenal waktu.

Tentang Renjun dan Dunianya, Jeno ingin beri banyak warna. Agar tidak hanya ada hitam dan putih saja. Sebanyak warna pelangi di langit sana. Terlihat indah tanpa bisa di terka.

Tentang Renjun dan semestanya, Jeno ingin tumpahkan ribuan bahagia. Siap menjaga senyum indahnya dengan berbagai cara.

Tentang Renjun dan hatinya, Jeno ingin punya kuasa. Agar tidak ada orang lain yang masuk dan sembarang mengambilnya.

Tentang Renjun dan dirinya, Jeno amat jatuh cinta. Jatuh cinta dengan bagaimana cara Renjun menerima kehadirannya. Jatuh cinta dengan bagaimana tangan kecil Renjun yang tidak pernah lelah mengusap lembut punggung Jeno yang sedang bergetar.

Tapi tentang Jeno dan seluruh hidupnya, ia ingin hanya berpusat pada Renjun. Seperti yang mereka bilang bahwa Renjun shines like the sun, and Jeno's mind goes into orbit itu, benar adanya.

Seperti sekarang, saat Renjun dengan semangatnya menceritakan bagaimana harinya berjalan, yang Jeno lakukan hanya diam mendengarkan. Setia bersama senyum yang ia umbar secara percuma. Memperhatikan bagaimana polosnya Huang Renjun bersanding dengan banyak kata.

Tidak ada bantahan, apalagi keluhan, hanya eratnya genggaman tangan, Renjun pun tau, bahwa Jeno ikut berpetualang, memposisikan dirinya sebagaimana menjadi Renjun di hari ini. Yang kesal terhadap kelakuan aneh Haechan sampai tidak sengaja menumpahkan hangat kopi ke atas lukisan.

"Kamu jadi aku kesel gak sih, Je? Wajar kan kalo aku marahin dia? Aku tuh capek-capek ngelukis, tapi karna kecerobahannya dia, lukisan aku jadi ancur semua.."

Amarah yang menggebu sampai membuat napas Renjun menjadi tidak teratur. Air mukanya sudah menunjukkan aura kelam, siap menerkam siapa saja yang membuat harinya semakin suram.

"Gak papa, Re. Nanti aku temenin kamu ngelukis ulang, ya?"

"Bukan masalah gitu, Je. Aku cari inspirasinya tuh susah. Dan sekarang aku udah gak ada mood buat ngelukis ulang."

Jeno menggelengkan kepala, Renjun dan kecintaannya terhadap hal melukis bukanlah sesuatu yang mudah untuk ia terima. Apapun yang membuat harinya buruk karena sebuah lukisan, pasti akan berakibat fatal. Karena itu, Jeno masih terus belajar untuk menghadapi kondisi Renjun yang seperti ini.

Dengan cekatan, Jeno melepaskan tautan tangan mereka, beralih mengangkup kedua pipi Renjun secara lembut, memberi afeksi nyata melalui sentuhan kulit. Hangat Renjun rasa, amarahnya mendadak padam. Kehadiran Jeno, terasa seperti sebuah ramuan penyembuh. Segala sesuatu yang tidak berjalan lancar, Renjun hanya perlu mendatangi Jeno, maka kecemasan itu akan hilang dengan sendirinya.

"Mau aku pinjemin peluk, gak?"

Hati Renjun mencelos, diperlakukan sebegitu lembutnya membuat Renjun mengucap puluhan kata terimakasih.

Pada semesta yang sedang berbaik hati, serta pada Jeno si pemilik denyut nadi.

Renjun mengangguk, memposisikan dirinya untuk nyaman dalam pelukan Jeno. Ia curi banyak-banyak harum tubuh Jeno. Sejuk menyapa indera penciuman. Membuat kelopak mata menjadi berat, terlalu nyaman pada sebuah pelukan yang terasa seperti rumah hunian.

Jika bagi Jeno Renjun adalah matahari, maka bagi Renjun, Jeno adalah pelangi.

Sosoknya hanya satu, namun warna yang ia tampilkan tidak hanya satu.

Karena Jeno, Renjun tau apa itu rasanya menjadi warna merah. Tersipu malu bagai kepiting rebus ketika rayuan klasik selalu Jeno sematkan di dalam celah perbincangan mereka.

Renjun tau bagaimana rasanya menjadi warna kuning, merasa hangat hanya dengan melihat senyum dengan mata setengah bulan sabit milik Jeno.

Bagaimana rasanya menjadi warna hijau, ketika deru napas Jeno bertabrakan dengan permukaan wajah Renjun, Renjun seperti diberi angin segar, membangkitkan rasa semangat juga rasa aman di dalam jiwa.

Bersama Jeno, Renjun juga tau bagaimana rasanya menjadi warna biru. Wajah murung tanda hari tidak berpihak padanya, sedikit merenggut fokus Renjun. Jeno yang terlihat sedih, Renjun tidak suka.

Dan bagaimana rasanya menjadi warna ungu, Renjun pun tau. Resahnya hati ketika tau kenyataan pahit, ternyata menyadarkan Renjun akan sesuatu. Bahwa segala yang indah, tidak akan bertahan lama. Antara bahagia dan luka, tidak bisa di pisahkan. Dan dengan itu, Renjun mendapat banyak pelajaran. Sejatinya soal perasaan, tidak perlu terus dipaksakan.

Karena Jeno, hidup Renjun tidak hanya berputar pada warna abu.

Renjun suka, sensasi bagaimana satu persatu warna yang Jeno torehkan di dalam hidupnya datang. Hingga tersusun rapih dan bersatu indah menjadi sebuah rasa yang berseri. Cinta dan bahagia.

"Dear, Cupid. In another life, please hit us both, again."

"..... Karena rasanya terlalu menyenangkan. Punya kamu yang jadi temen bicara..."

"Je... Tetep kayak gini, ya. Sampe waktu yang gak bisa keitung pake jari kita."

"... Jangan pernah pergi, jangan pernah hilang. Disini aja. Sama aku."

"... Mau kan, Je?"

Renjun mendongak, menatap Jeno dengan penuh harap. Maka sebuah kecupan yang jatuh di atas keningnya, seakan menjawab semua pertanyaan.

"Ini punya aku,"

Kecupan itu tidak hanya berhenti di atas kening, turun sedikit menuju dua kelopak mata Renjun yang tertutup seiring dengan hangat bibir Jeno menyapa.

"Ini juga punya aku,"

Pangkal hidung Renjun pun seakan tidak mau kalah, memaksa bibir Jeno untuk mendaratkan kecupannya juga di sana. Maka dengan hangat, Jeno mengabulkan.

"Pipi gembul ini, cuma punya Jeje."

Renjun tersenyum, kala kedua pipinya juga di sapa oleh lembut bibir Jeno. Bunga-bunga yang sudah terlanjur bermekar pun ikut berguguran, merasakan betapa banyak bahagia yang Renjun dapat dari sosok Jeno.

"Dagu cantik ini juga punya Jeje,"

Geli di perut terasa semakin kencang. Afeksi yang Jeno berikan sungguh luar biasa hebatnya.

"Semua yang ada di Rere itu punya Jeje. Jadi, gimana Jeje bisa bilang enggak?"

Dan begitulah sentuhan terakhir Jeno berlabuh. Di manisnya belah bibir Renjun yang menjadi akhir dari kecupan. Dengan lembut dan penuh kehati-hatian, Renjun diperlakukan bagai barang antik sejuta dollar.

🌈🌈

Pelangi; NoRen ✓✓Where stories live. Discover now