Rere dan Jeje;

2.1K 344 10
                                    

Sore hari datang, meninggalkan siang yang telah menyelesaikan tugasnya. Di dalam ruangan bernuansa putih, Renjun tengah bersiap. Bel pulang sudah nyaring bunyinya sejak sepuluh menit yang lalu.

"Pulang sama Jeno?"

Tanya Lee Haechan. Satu-satunya sahabat yang Renjun percaya.

"Iya."

Bibir Renjun tersenyum simpul, yang membuat si pemuda kelahiran Juni itu menggelengkan kepalanya.

"Udah jauh banget dong ya progres kamu sama dia?"

Seakan enggan mengakhiri dialog, Lee Haechan kembali duduk di kursinya. Asik memandang Renjun yang tengah memasukkan beberapa peralatan melukis yang jumlahnya tidak sedikit.

"Entah, Chan. Aku si biarin ngalir aja. Jeno juga selalu berusaha bikin aku nyaman kalo di deket dia. Jadi, ya gitu..."

Jujurnya dengan kekehan yang kelewat manis. Begitu yang hati kecil Haechan bilang.

Ia menghela napas dalam, melirik ke arah pintu, sudah ada Jeno yang berdiri di sana. Menunggu Renjun.

"Jeno beneran sesuka itu sama kamu, ya?"

"Chan, kamu nggak mikir aneh-aneh tentang aku sama Jeno, kan?"

Bukannya menjawab, Renjun justru melayangkan pertanyaan lain. Menyempatkan dirinya berhenti sejenak dari kegiatan merapikan alat lukis. Menatap Haechan dengan penuh selidik. Juga ada rasa resah yang tidak bisa ia sembunyikan. Tidak biasanya Haechan seperti ini.

"Gak papa deh, Ren. Hehe. Mungkin aku nya aja yang lagi overthinking."

Bangkit dari duduknya, Haechan beralih membawa tas ransel ke dalam gendongan. Tersenyum canggung sambil menepuk bahu Renjun pelan.

"Kalo gitu, aku duluan ya. Jeno juga udah nunggu kamu, tuh."

Arah pandang Renjun jatuh tepat saat Jeno juga tengah menatapnya. Memberi senyum yang berafeksi tidak biasa bagi Renjun. Dengan gelagat yang salah tingkah, Renjun menyusul Haechan keluar dari kelas. Menyambut Jeno dengan sebuah kekehan bahagia.

"Udah lama?"

Tanya Renjun, si pria April hanya menggelengkan kepala. Mengambil satu botol Cimory berperisa Leci dari dalam saku. Minuman favorit Renjun. Setidaknya, itu yang Haechan katakan pada Jeno tempo hari lalu. Saat dirinya meminta izin untuk mendekati Renjun.

Tangan Jeno terulur bebas, mengambil alih tas ransel yang sedang Renjun gendong, lalu menyimpannya kembali ke dalam gendongannya. Yang membuat Renjun mengernyit bingung.

"Jen, itu berat. Biar aku aja yang bawa."

Masih berusaha untuk merebut tasnya kembali, tapi Jeno malah mengusap pipi Renjun dengan lembut.

"Gak papa. Lo keliatan capek banget. Biar gue bawain, ya?"

Jantung Renjun kembali bereaksi. Bertindak di luar dugaannya. Membawa hawa panas serta laju detak yang tidak biasa. Mungkin efeknya, Jeno bisa melihat seburat merah langsung tercetak di sana.

"Yuk,"

Iya, pada akhirnya Renjun akan tetap sama. Membiarkan Jeno melakukan apa yang ia inginkan. Renjun tidak menolak segala afeksi yang Jeno berikan. Kalimat yang terlontar saat berbincang dengan Haechan pun benar adanya. Bahwa ia hanya akan membiarkan semuanya mengalir. Mengikuti arus waktu. Entah kemana ia akan di bawa, asalkan bersama Jeno, ia rasa ia tidak keberatan.

"Jeno, hari ini aku udah bilang sesuatu ke kamu belum?"

Jeno memperlambat langkahnya, guna memulai sesi percakapan yang belum tercipta. Sebab hening masih suka berlama-lama.

Pelangi; NoRen ✓✓Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum