#1 Pemakaman

26 10 1
                                    

Selamat subuh, Ras.

Bagaimana kala subuh terlihat di sana?

Apakah setenang di sini? Apakah sesunyi suasana ini?

Ras?

Kekasihmu sedang datang berkunjung.


DI SINI tenang. Sangat tenang. Cukup tenang untuk membantuku menenangkan perasaankuyang berkecamuk sejak kemarin. Ternyata amarah itu masih ada di sana. Amarah itu membuatku murka. Amarah itu membuat teriakanku ingin keluar dari ujung tenggorokan. Amarah itu membuatku ingin menghantam siapa dan apa saja yang ada di sekitarku sekarang.

Namun tak ada apa pun atau siapa pun di sini. Dia bilang, salah satu obat untuk amarah adalah pelukan. Dia bilang, hangatnya sebuah pelukan dapat menyembuhkan penyakit apa pun. Tapi, terakhir kali aku memeluknya... tubuhnya dingin, kaku, tak bergerak sama sekali. Kurasa pelukan itu tak menyembuhkan; melainkan menambah luka, memperjelas amarah, meninggalkan bekas yang sangat perih. Dan hal itu membuatku menjadi benci pelukan, membuatku tak percaya kalau amarahku bisa diredam. Karena aku pun tak menginginkannya.

Matahari belum nampak dari ufuk timur, tapi langit hitam pekat sudah mulai berubah terang. Setiap harinya aku selalu berkunjung ke sini, dan selalu tepat di jam lima pagi. Dulu, setiap harinya, dia selalu membangunkanku pada jam yang sama. Selalu di jam yang sama semasa tiga tahun hubungan kita berjalan. Dia adalah orang yang sangat tepat waktu, sedangkan aku tukang ngaret, dan ia benci akan sifatku yang tak pernah aku berniat ubah. Hingga akhirnya aku bisa berubah, ia tak ada lagi di sini untuk melihatnya.

Nama lengkapnya adalah Andini Laras. Orang tuanya, keluarganya, teman-temannya, bahkan mantan-mantan pacarnya dulu selalu memanggilnya Andini. Namun aku lebih memilih untuk memanggilnya Laras. Dari yang pernah kubaca, Laras berarti seimbang, serasi, sejalan. Seperti kita yang merupakan pasangan yang serasi. Dan seperti tujuanku yang sejalan dengan dirinya, aku dan Laras membangun hubungan saling dukung dengan berbagai rencana yang kita doakan akan terjadi, walau prosesnya lambat sekali.

Aku dan Laras selalu berencana untuk masa depan kita. Kusisihkan sedikit gaji yang tak seberapa untuk membayar DP serta cicilan rumah subsidi dengan luas tanah 60 meter persegi, dua kamar tidur, dengan sisa tanah yang cukup untuk taman belakang yang diidam-idamkan Laras. Ya, cukup untuk kita berdua. Sedangkan Laras menabung untuk biaya nikah kecil-kecilan yang sudah terdengar wah untuk kelas kami. Dengan pekerjaanku yang hanya sebagai karyawan desainer grafis di salah satu digital printing di daerah Slamet Riyadi, dan dia yang hanya staf admin di tempat yang sama, rencana-rencana kecil kita sudah bagai hal besar yang membuatku semangat bekerja setiap harinya.

Kenyataannya, kita belum dapat mewujudkan semua rencana-rencana itu. Kenyataannya lagi, memang manusia hanya bisa berencana.

Namun aku tak pernah berencana untuk kehilangannya.

Namanya terukir nanar di atas batu nisan itu. Batu nisan yang mulai berlumut kalau saja tak ada aku yang membersihkannya setiap minggu. Kuburannya pun kering, tak pernah disirami. Tak pernah ada bunga tabur yang berserakan di atasnya. Aku tak pernah membawa bunga tabur ke makamnya. Aku rasa Laras akan memaklumi diriku yang tak akan sempat untuk pergi ke Pasar Kembang, karena pasti aku akan terlambat mengunjunginya, dan berujung terlambat masuk kerja. Selain itu, semasa hidupnya Laras tak pernah suka konsep pemberian bunga, katanya hanya buang-buang uang dan tidak berguna. Tetapi ia suka sekali dengan bunga matahari. Pagi ini aku beruntung karena aku sempat memutar motor bututku ke Pasar Kembang untuk membeli setangkai bunga matahari segar untuk Laras.

"Ras? Aku tak pernah lihat orang yang ziarah ke makam dengan membawa bunga matahari, semoga saja tidak pamali. Hari ini aku membawakanmu satu tangkai bunga matahari, kupilih yang masih segar dan paling cantik. Kamu bilang, bunga matahari adalah bunga yang berwarna paling ceria, ia pun selalu menatap ke arah matahari yang sedang bersinar; sama sepertimu yang selalu melihat sisi terang dari setiap hal buruk yang terjadi."

Satu Pagi untuk SalaWhere stories live. Discover now