69. Perkara Bahasa (Chairil & Farah)

Start from the beginning
                                    

"Ehm

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ehm ..., menurut kabar yang saya dengar, rapat ini diinisiasi oleh para pemuda yang tidak setuju jika sekutu akan membuat markas di Jakarta, ..."

"Maju tak gentar
Membela yang benar!"

Kalimat Farah terinterupsi teriakan rakyat yang menyanyikan lagu maju tak gentar ciptaan Cornel Simanjuntak. Terbawa gelora masa, gadis itu ikut melanjutkan lagu itu dengan teriakan totalitas.

"Maju tak gentar
Mengusir penjajah
Maju serentak
Mengusir penyerang
Maju serentak
Tentu kita menang

Bergerak bergerak
Serentak serentak
Menerkam menerjang terkam

Tak gentar tak gentar
Menyerang menyerang
Majulah majulah menang."

"Merdekaaa!!!" Pekik Farah seusai bernyanyi.

Di bawah terik panas khas kota Jakarta, tanpa makan dan minum, mereka terus memperdengarkan yel-yel dan nyanyian penggugah semangat.

"Vee, Nafla sama Pipit di mana, ya?" Netra Farah menjelajah tempat itu. Namun, sulit sekali mencari mereka di tengah padatnya manusia.

"Ketutup spanduk kali yak muka mereka? Farah bergumam samar.

"Padahal bakal lebih rame kalo ada kalian, sobat rusuh." Gadis itu tertawa kecil membayangkan kegaduhan yang akan terjadi jika mereka bersama.

Perlahan, Farah mulai berpindah posisi, mencari orang yang dapat diwawancarai.

Berawal dari asrama pemuda menteng 31 yang bertugas menggerakkan masa, kabar peringatan satu bulan proklamasi di Ikada menyebar dari mulut ke mulut hingga pinggiran bahkan luar Jakarta.

"Selamat pagi, Pak." Farah tersenyum sopan, menyapa seorang bapak renta dengan bendera merah putih di genggaman.

Bapak itu membalas ramah senyum Farah. "Pagi, Nak. Ada apa?"

"Ingin ngobrol-ngobrol sedikit, Pak." Gadis itu memosisikan diri lebih dekat dengan sang bapak tua yang nampak masih bugar.

"Ooh, boleh-boleh, Nak, silakan."

"Datang dari mana, Pak?" Farah memulai wawancaranya.

"Dari Tanahabang, Nak."

"Kenapa mau ke sini, Pak?"

"Mau dengar pemimpin negri ini berbicarra, sekalian memastikan kalau kita, sudah merdeka. Kata merdeka itu bernyawa sekali. Gadis itu mengangguk.

"Kamu ...," Bapak itu bicara lagi. Suaranya bergetar. Ujung matanya basah.

"Kenapa, Pak?"

"Kamu mirip cucu bapak, Nak, panggil bapak Kakek saja, ya," pinta si bapak yang diangguki Farah lagi.

BataviLoveWhere stories live. Discover now