69. Perkara Bahasa (Chairil & Farah)

Începe de la început
                                    

Setelahnya, mereka menuju rumah Soekarno untuk makan ketupat yang sudah dibuat kemarin. Orang-orang saling bersilatu rahmi ke rumah keluarga, tetangga dan kerabat.

Mereka bersuka cita, sedang Pipit terlihat muram. Dia pasti juga ingim Supriadi ada di sana. Ikut mengucap maaf secara langsung seperti Nafla, Farah bahkan Vee.

Untuk menghibur Pipit, sorenya mereka berjalan  berkeliling kota Jakarta tanpa para pasangan.

Berempat saja, sebagai gadis milenial yang mengamati hari raya pasca kemwrdekaan.

Mereka berfoto, bercerita tentang apa saja. Memperhatikan orang yang berjalan kaki dengan pakaian serba indah, juga wajah-wajah yang tampak berseri.

Penjual makanan dan minuman banyak dikunjungi. Mereka ikut membeli, kemudian mencari tempat bagus menunggu senja menghias cakrawala.

Kadang, Farah berharap agar Pipit bisa bertemu dengan Supriadi di saat seperti ini.

Hadirnya serupa bayangan, di mana kekasih Pipit sekarang?

Saat lebaran hari kedua, Farah tak melihat Pipit sedih lagi. Begitu pun hari-hari selanjutnya.

Apa yang terjadi, dia belum mau berbagi. Mungkinkah, Pipit sudah mendapat kabar dari Supriadi?

***

11 hari kemudian, satu bulan lebih dua hari pasca proklamasi, pada tanggal 19 September lapangan gambir yang di jaman Jepang berganti nama menjadi lapangan Ikada berhasil mengumpulkan masa dari berbagai golongan. Tiga ratus ribu orang berada di sana.

Tujuannya, untuk menunjukkan pemerintahan Indonesia kepada umum, mendekatkan serta merekatkan rakyat pada pemimpinnya, sekaligus menunjukkan pada penjajah bahwa Indonesia benar-benar telah merdeka.

"Selamat pagi, Pemirsa, dari tahun 1945, bersama saya Farah Mutiara Sulastri melaporkan langsung dari lapangan Ikada dalam peringatan satu bulan proklamasi kemerdekaan, rapat raksasa lapangan Ikada," ucap Farah bergaya membuka liputan di tengah hirup pikuk teriakan merdeka para rakyat yang bersemangat.

Dengan kameranya, dia merekam gegap gempita itu. Sejak pagi, gadis itu bersemangat sekali. Meminta ijin untuk pergi lebih dulu dari Ali, Mimi dan Lili, ikut di antara rombongan rakyat yang hendak pergi ke tujuan yang sama.

"Dapat dilihat di sini, pemirsa ...," Farah mengarahkan kamera pada lautan manusia bermandikan warna merah putih.

"Para rakyat membawa bendera merah putih, spanduk dan poster bertuliskan SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA!" Gadis itu melanjutkan liputannya, membacakan tulisan satu dari lautan kata perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

"Ada juga yang menuliskan MERDEKA ATAU MATI, serta sederet kalimat lain yang menunjukkan satu semangat kemerdekaan yang sama."

"Padamu negri
Kami berjanji
Padamu negri
Kami berbakti
Padamu negri
Kami mengabdi
Bagimu negri ...
Jiwa raga ...
Kami."

"Pemirsa, baru saja lagu Bagimu Negri ciptaan Kusbini dinyanyikan rakyat untuk menjaga semangat, sembari menunggu kedatangan para pemimpin republik. Sebelumnya, lagu Indonesia Raya juga dikumandangkan dengan penuh penghayatan oleh lautan masa di seluruh lapangan."

Gadis itu mengoceh lagi. Kameranya mengarah ke sana kemari, namun berusaha menjaga agar tidak menarik perhatian.

"Saat sampai di sini sekitar pukul sepuluh pagi tadi, sudah banyak sekali rakyat yang berkumpul. Menurut kabar yang saya dengar ..., uhuuy gue serius dulu. Udah mantul belom gue?"

Kalau di sini ada para tim, pasti dia dapat marah akibat kegajean yang tak ada obat

"Eh, tadi gue mo ngomong apa sih yak?" Farah mengetuk-ngetuk keningnya, sejurus kemudian kembali memasang gaya bak reporter.

BataviLoveUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum