ARK-VYFTIEN

63 6 4
                                        

♨️

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

♨️

MAU KE MANA, SOREN?”

Aku buru-buru memakai kembali kaosku yang sebagian besar masih bernoda darah. Robek di sana-sini bekas sabetan Xyrafáki atau hangus oleh serempetan peluru pistol biasa. “Urusan penting,” sengalku, mau tak mau meringis nyeri begitu merasakan ledakan kejutan pada abnomen kiriku.

Coyote Brivk lagi?” tanyanya yang lebih mirip seperti gumam tak jelas. Untung aku punya telinga yang lebih baik daripada manusia lain sehingga aku tak perlu repot-repot mempermalukan diri sendiri dengan ber-ha.

Saat aku tak kunjung membuka mulut, dia menghela napas, melepas masker kain yang dia pakai. Alhasil menampakkan setengah wajahnya yang tanpa rahang. Atau, setidaknya dari rahang sampai ke lehernya tidak lagi terdiri dari kulit dan tulang--lempengan logam hitam mengganti warna kulit keemasan Thilo. Dimodifikasi sedemikian rupa hingga bukan hanya sekadar hiasan belaka tetapi juga membantu Thilo menghasilkan suara.

“Coba lihat keadaanmu dulu,” omelnya dengan suara terdistorsi, mata merah mudanya yang lebar seperti anak kecil jelalatan mengamati wajahku. “Tidur layak kau dapatkan.”

“Thilo, hanya sebentar,” tukasku. Untuk meyakinkannya kutegakkan punggungku, kutepuk pipi logamnya. “Kaulah yang perlu istirahat.”

Thilo mendesah sebal. “Aku seorang Esther paruh waktu. Kalau-kalau kau lupa, Soren,” tangannya terentang pada kekacauan di sekeliling kami. Pada beberapa antar muka holo yang menampilkan hasil rotgen atau anatomi tubuh manusia. Berikut gulungan perban berdarah di atas meja, tangan-tangan mesin untuk membantu pasien yang membutuhkan perombakan tubuh karena luka fatal, dan terutama bau semerbak memerihkan hidung dari antiseptik.

Di ujung terjauh dariku, seorang pemuda berambut kuning telur sedang mencondongkan tubuh ke arah salah satu Echoes setengah berbaring dengan koran yang menutupi hampir keseluruhan muka. Sementara pemuda berambut kuning telur itu--Arshanv berkutat sendiri, menggerakkan tangannya yang diperban sana-sini dengan hati-hati dan tekun untuk menjahit daging yang terbuka.

Aku melirik para Echoes lain, yang beberapa jam yang lalu satu tim denganku dalam misi. Banyak yang duduk-duduk, sudah dirawat duluan oleh Thilo. Beberapa jam yang lalu kami bertempur habis-habisan dan, sekarang alangkah aneh melihat mereka berbincang kepada sesama rekan mereka, tertawa-tawa--dengan mudah melupakan maut yang sebelumnya mengintai. Luka-luka yang mereka dapatkan jauh lebih ringan ketimbang biasanya.

Hari ini kami bisa dibilang mujur. Setidaknya para Anchor itu tidak menandai target kami dengan seksama.

“Menurutku kau anak manis, Thilo,” ucapku sesudah yakin tiada yang perlu dikhawatirkan. Cepat-cepat memberi dahi anak laki-laki di depanku itu kecupan singkat sebelum dia punya kesempatan untuk kembali mengomeliku soal betapa pentingnya menjaga kesehatan. Rambut Thilo yang sewarna dengan matanya berdiri saat aku mengacaknya. Menjadikannya makin mirip seperti anak belasan tahun. Kalau sedang tidak dalam kondisi darurat, aku sudah pasti aku memeluknya erat-erat. “Pejamkan saja matamu barang beberapa menit. Arshanv akan maklum.”

The Path of Shadows [On Going]Where stories live. Discover now