ARK-JŪ

117 12 30
                                    

🌀

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

🌀

AKHIRNYA SETELAH TARIKAN napas yang berat, Takeda memasukkan Hoover yang aku berikan ke kantung celananya. Menekuk lutut, menempatkan cekukan antara lengan dan tangan di atas masing-masing lutut. Satu tangan mengunci pergelangan tangan yang lain. Anak-anak rambut Takeda yang sudah mulai kering bergerak-gerak tertiup angin dari ketinggian. Bibirnya yang penuh menekuk menjadi sebentuk senyum getir.

Aku memperhatikan semua itu dalam diam. Berpikir andai saja aku bisa membuat Takeda melupakan aku atau kalaupun tidak bisa, aku ingin dia membenci aku, bosan dengan sikapku yang dingin.

Sekonyong-konyong tak kuduga-duga, Takeda memalingkan wajah, sehingga mau tak mau tatapan kami bertemu, tapi tidak bertahan lama sebab kemudian Takeda memutusnya dengan segera. Tanpa sadar selagi memperhatikan semburat merah pada telinga Takeda, kata-kata Lia kembali terngiang dalam kepalaku.

Kesemsem.

Aku meringis dalam hati. Begini-begini aku masih tahu diri untuk tidak serta merta jatuh dalam kata-kata Lia atau, terutama, kegigihan Takeda.

Takeda kembali melanjutkan, syal sialan yang dia pakai menutupi hampir sebagian wajahnya. Sehingga aku kurang jelas melihat ekspresi yang dia kenakan saat ini. "Tahun depan dia akan menjadi salah satu mahasiswi di Institut Oxford. Pilihan hidup yang lebih baik dan jelas sampai akhir," Takeda terdengar sedih ketimbang bahagia. Tapi aku diam saja, mengamati dengan seksama selagi pemuda itu melanjutkan, "itu kata Otou-san. Walaupun menyakitkan bagi Kaiya, kata-kata Otou-san memang benar. Harus ada yang menaikkan derajat keluarga."

Biarpun kalimat terakhir itu hanya berupa gumaman pelan belaka, aku mau tak mau tercengang. Kata-kata itu, walaupun keluar dari bibir yag berbeda, tetap saja terasa menohok bagian hatiku yang sudah kering, hingga berdarah-darah lagi. Kugigit bagian dalam daging pipiku, fokus pada rasa sakit yang memedihkan. Kuperingati diriku sendiri dengan keras. Takeda bukan ibuku. Sama sekali bukan dia. Lagipula, seorang Engine tentu saja boleh berucap demikian, sebab kata-kata mereka selalu lahir dari keputusasaan. Tidak seperti Ibuku, seorang Wondra, yang melahirkan kata-kata serupa dari keserakahan.

Takeda mengeluarkan suara tawa canggung, makin membenamkan wajah pada lipatan syalnya. Tidak menyadari bahwa aku ingin melakukan hal serupa. Bersembunyi dari kelebatan ingatan yang sakit. "Maaf, aku ngelantur," katanya tak jelas.

Aku berkata dengan suara setengah tercekat, dibuat-buat supaya tidak terdengar demikian. "Tidak apa-apa. Sungguh. Aku senang kau mau menceritakannya padaku."

"Aku juga," ujar Takeda setelah beberapa detik nan canggung, tangannya bergerak buru-buru ke dahi, menyugar rambut yang menghalangi mata. Akhirnya melepaskan diri dari perlindungan syal. "Ini kali pertama dalam hidupku aku duduk di atap."

The Path of Shadows [On Going]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora