Chamber 5

819 48 0
                                    

"Setelah ini belajar matematika?"

Sang guru privat mengangguk. Anak lelaki berumur 13 tahun itu menunjukkan wajah kecewanya.

Bilangan itu rumit. Menghitung itu masalah. Menghela napas tak terhitung di hari ini. Buku bertuliskan Ni-ki itu dibuka sedikit kasar. Andai saja ia masuk ke sekolah menengah pertama umum.

"Jangan khawatir saya akan mengurangi materi pelajaran seperti biasa," hibur sang guru.

"Tidak perlu. Papa dan mama akan marah mengetahuinya," tolak lelaki itu.

Jika bukan karena kedua orang tuanya yang menginginkan penerus baik bagi perusahaan. Ni-ki tidak akan berusaha keras mengikuti home schooling ini. Bahkan, ia bisa bermain dengan anak seumurannya dan mencoba untuk tidak mempedulikan masa depannya.

Kemewahan yang ada dirumah ini tidak akan mengubah pemikirannya tentang indahnya dunia luar. Jika saja dia dapat menghilang dan tinggal di dunia yang sedikit tidak fana. Iya,dengan sedikit fantasi.

Melihat anak itu menatap bosan pada buku, sang guru menanyakan hal yang mungkin anak laki-laki itu inginkan, "Anda ingin sedikit beristirahat?"

"Tentu saja. Istirahat selama nya mungkin," jawab Ni-ki dengan kiasan pada kalimatnya.

"Saya akan tetap menunggu disini. Anda bisa beristirahat setengah jam."

Ni-ki menyusun buku nya, berjalan ke arah tangga. Hingga interupsi menghentikan langkahnya.

"Juga, pesan Tuan Nishimura, saya disuruh mengingatkan anda agar tidak menyentuh benda diruangan ke lima yang baru di renovasi."

Ni-ki melirik ke belakang nya sebentar lalu kembali melangkahkan kakinya tak peduli.

.

.

"Ck, tak cukup 6 jam belajar,  mengikuti les kursus bahasa, belajar etika, dan apa lagi?!" dumel Ni-ki setelah membantingkan badannya di ranjang birunya.

"Terserah saja lah," lelah Ni-ki setelah memikirkannya berkali-kali.

Anak laki-laki itu mengambil salah satu kanvas dan alat lukisnya. Setengah jam cukup untuk membuat kerangka koleksi lukisannya untuk hari ini.

"Merah, merah, merah," cari Ni-ki cepat melihat kumpulan pewarna.

Tak menemukan warna yang diinginkan Ni-ki mengerang frustasi. Tidak ada satupun yang berjalan baik hari ini atau hanya rasa sial yang menggerogoti nya membuat harinya menjadi buruk.

Ni-ki memikirkan dimana pewarna merah itu berada, mengingatkannya kembali.

Langkahnya bergegas menuju kemana yang dia cari berada. Seingatnya alat melukisnya pernah diletakkan diruangan itu sebelum akhirnya di renovasi.

~Two Times~

Ni-ki berhenti tepat di pintu berwarna putih dengan lekatan sticker di angka 7 yang terlihat lucu baginya.

"Ruangan kelima, kok, diberi nomor tujuh," ucap Ni-ki sambil tersenyum remeh.

Saat ingin membuka gagang pintu putih dihadapannya. Sebuah ingatan lepas, menarik tangannya kembali. Ni-ki seharusnya tidak disini karena larangan dari sang ayah yang baru saja di beritahu guru nya. Rasa ragu sekejap menyerang nya.

.

.

Namun..., Ni-ki bukan Ni-ki jika tidak berani melakukan nya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mengingat bagaimana cara nya dia melewati kelas musik hanya untuk berjalan di taman kosong, menolak masuk kelas beladiri dengan berpura-pura melukai lengannya atau sekedar mengelabui guru bahasa nya dengan menghilangkan buku pelajaran untuk menonton seri fantasi kesukaannya. Saat ini dewi fortuna terus memihaknya sehingga hal itu belum terbongkar karena kesibukan orangtuanya.

Two Times (ENHYPEN)Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin