Chapter 1 : Yogyakarta

2.3K 401 61
                                    

HIDUP mandiri adalah salah satu goals dalam hidupku. Selama ini aku selalu didampingi oleh Ibu dan Ayah. Mereka menjagaku dengan amat sangat baik. Ditambah lagi Mas Rama yang selalu melindungiku bahkan di saat sibuknya. Maka dari itu, terbesit di benakku untuk mandiri. Aku tak ingin selalu merepotkan mereka. Aku ingin menunjukkan bahwa puteri bungsu Ayah dan Ibu bukan puteri mereka yang manja lagi.

Hingga suatu hari, aku mengajukan sebuah usul bahwa aku ingin kuliah di Yogyakarta, tepatnya di kampus impianku Universitas Gadjah Mada. Awalnya mereka menolak. Tetapi aku meyakinkan mereka bahwa jarak antara Yogyakarta dan Surabaya tidak terlalu jauh. Jika melalui jalan tol diperkiranya hanya menempuh waktu 6 jam saja. Aku juga berjanji akan mengusahakan setiap weekend untuk pulang ke rumah. Pada akhirnya, mereka semua setuju.

And here I am. Di Yogyakarta. Tinggal di sebuah kosan yang nyaman. Dengan fasilitas lengkap seperti tempat tidur, lemari, meja berhias, kamar mandi di dalam kamar, mini pantry di dalam kamar, AC, sofa untuk bertamu, serta Wi-fi untuk kamar ukuran 5x5. Sangat besar untuk sebuah kosan, menurutku. Tapi wajar karena harga perbulannya juga tidak main-main. Sebenarnya aku ingin tinggal di kosan yang biasa saja, tapi Mas Rama yang memilih tempat ini jadi aku tidak bisa protes.

Di Universitas Gadjah Mada aku memilih jurusan Ilmu Komunikasi karena aku gemar berbicara. Aku juga sangat mengidolakan seorang Najwa Shihab. Suatu hari, aku berharap aku bisa menjadi sepertinya.

Sudah hampir seminggu sejak aku masuk kuliah di UGM. Besok adalah hari sabtu dan artinya hari ini aku harus pulang ke Surabaya setelah selesai kelas. Tapi, jujur saja, tubuhku terasa penat. Hampir seminggu ini jadwal kelasku sangat padat. Waktu pulang pun selalu di sore hari sehingga aku hanya punya waktu untuk istirahat di malam hari. Bahkan aku tidak bisa ikut nongkrong bersama teman-teman baruku karena kelelahan. Aku takjub pada mereka yang begitu bersemangat padahal bagiku kuliah sangat melelahkan.

"Guys, malam ini ke Starbucks yuk? Gue traktir!" Aku menoleh ke arah Joanna yang begitu bersemangat mengajak kami, seperti biasa, untuk nongkrong.

"Gas lah euy kalau di traktir aing mah." jawab Sania, si gadis Bandung yang mulai tertular Joanna yang hobi nongkrong. "Bella ikut atuh!" Dia memeluk lenganku dengan ekspresi memelas.

"Iya, Bel. Kalo lo capek, nanti gue yang jemput deh. Lagian hari ini kan kelas kita cuma sampai jam 11 siang aja. Lo bisa istirahat siang nanti." timpal Jeje. "Atau lo nebeng Shireen aja. Kan satu kosan. Plus, mobil Shireen udah selesai diservis."

"Kok lo tau sih, Je? Nge-fan lo sama gue?" Shireen menggoda Jeje, dan ekspresinya terlihat menggelikan.

Aku menghela napas berat. "Maaf ya. Hari ini aku nggak bisa ikut. Bukan masalah capek, tapi aku janji sama Ibu dan Ayah bakal pulang ke Surabaya tiap weekend." jawabku. Semoga mereka tidak kecewa padaku.

"Serius lo mau pulang ke Surabaya? Lo keliatan pucat dan kecapekan, Bel. Mana lo bawa mobil sendiri lagi." Joanna tampak mengkhawatirkanku.

"Joanna bener. Lo aja kemaren-kemaren nggak bisa ikut kita nongkrong, apalagi pulang ke Surabaya. Sumpah, gue takut lo kenapa-napa, Bel. Gue nggak ngedoain ya." Aku sangat mengerti maksud Jeje. Intinya mereka semua mengkhawatirkanku. Aku juga tidak percaya diri apakah bisa pulang sendiri ke Surabaya.

"Lo hubungin gih keluarga lo, Bel. Bilang aja kalo lo nggak bisa pulang. Kita nggak papa kok lo nggak ikut nongki bareng kita. Tapi kita juga nggak tega liat lo dengan keadaan begini nyetir sendiri ke Surabaya." Shireen mengusulkan agar aku menghubungi keluargaku. Mungkin dia benar. Aku akan mencoba untuk menghubungi Mas Rama. Dia pasti bisa menyampaikan dengan baik ke Ibu dan Ayah tanpa membuat mereka kecewa.

Pun aku pergi meninggalkan teman-temanku di kantin menuju koridor yang cukup sepi. Kemudian aku mengambil ponselku dan menghubungi nomor Mas Rama.

"Assalamualaikum, Dek?"

SEPUPU TAPI MENIKAHWhere stories live. Discover now