Chapter 6 • RM BTS

157 31 79
                                    

"Gays, RM BTS seganteng apa sih? Gue dikatain dakjal setelah ngatain dia kayak dakjal."

Tin sedang nongkrong dengan teman-temannya di rumah pohon pinggir kolam sore itu. Ia lagi badmood. Setelah gabut di kosan sendirian, Tin memutuskan ke sekret.

Mendengar ucapannya, anak-anak oleng. Pond mangap, Sammy melotot, Kla dan Tekno terperangah.

Pete ngelihat Tin seolah kayak Tin baru aja bilang dirinya titisan Anunnaki.

"Lo nggak serius ngatain RM dakjal kan? Ke siapa? Jangan-jangan fandomnya? Cari mati lo."

"Bukan ke fandom. Cuma ke bucinnya si RM. Gue dikata-katin coba. Salah gue apa? Kan gue jujur."

Pete kadang sangat gedeg dengan sifat impulsif Tin yang antara polos dan nggak peka.

"Makanya jangan sembarangan." kesal Pete. "Emang lo bahas RM dimana?"

Di wattpad, Tin hampir keceplos. Untung mulutnya ngerem tepat waktu.

"Uh... Lewat chat."

"Chat apa?"

"Private chatlah ngapa juga gue spill. Udah ah males gue. Mana dia ga bales-bales. Keseeell."

Tin berguling di lantai kayu rumah pohonnya. Jarinya menscroll chatnya dengan Can. Dia sudah minta maaf berkali-kali, tapi nggak ngefek.

Tin melihat followernya. Berkurang satu. Dia langsung duduk tegak. Jantungnya berdebar.

Apa dia unfollow gue?

Dengan jempol gemetar, Tin memeriksa followernya. Nggak mungkin Can unfollow gitu aja kan. Please jangan dia.

Saat tahu Can masih jadi followernya, Tin menghela napas yang sejak tadi ia tahan. Ia menyandarkan punggungnya ke tiang pohon. Merasa begitu lega. Tapi sedetik kemudian ia kembali cemberut. Can nggak membalas pesannya.

"Lo kayak orang gak berak seminggu."

Tin kaget. Dia noleh cepat ke arah Pete yang sedang memelototinya sejak tadi.

"Nyembunyiin apa lo? Gebetan baru? Cari penyakit. Yang kemarin aja nggak kelar-kelar urusannya."

"Ck. Apaan sih berisik."

"Gue tau lo Tin. Yang begini ini bakal nyeret lo ke lobang yang sama. Awalnya chattingan, terus jadian, ketemuan, mantap-mantapan. Lanjutannya drama kayak yang sudah-sudah."

Tin mengernyit. Dia nggak suka Pete ngomong bener.

"Lo juga nggak pernah keliatan nulis di web dan majalah online kampus sekarang."

"Gue nulis kok."

"Dimana?"

Sumpah Tin pingin nampol mulut Pete sekarang. Dia itu kalo ngejar nggak bakal berhenti sebelum dapet jawaban. Dan Tin bukan orang yang suka bohong. Itu kelemahannya.

Tin selalu terus terang dan blak-blakan. Itu juga yang menjebloskannya dalam pertengkarannya dengan Can. Gara-gara dia terlalu jujur dengan pendapatnya sendiri.

"Ada."

Tin terus melirik hpnya. Belum ada balasan.

"Yaudah terserah lo mau bilang apa nggak. Yang penting lo tetep produktif dan jangan galauin sesuatu yang nggak jelas kayak gitu. Real life itu yang paling penting, Tin. Lo bisa aja jadi siapapun dimanapun. Tapi kehidupan lo di dunia nyata itu prioritas utama. Jangan sampai lo larut dalam alternate universe yang semu." bacot Pete panjang lebar.

"Hiliiih lo ngomong kayak lo nggak chattingan sama anak sepak bola siapa itu si Ae, ya kan."

"Heh anying jangan bacot deh dia emang gebetan gue dari semester satu. Dan dia orangnya real. Nggak surrealis kayak gebetan lo."

Sialnya omongan Pete selalu benar. Tin mungkin nggak bilang dia disibukkan oleh apa tapi Pete selalu bisa membaca perubahan sekecil apapun dari sahabatnya itu.

"Pete bener Tin. Karena kalo lo kenapa-napa di dunia nyata, lo juga nggak bakal bisa eksis di dunia alternatif." Sammy sok bijak.

"Hah dunia alternatif apaan sih?" Tekno gagal fokus tapi nggak ada yang ngejelasin.

"Gue pulang aja."

"Dih gitu aja ngambek. Persis anak perawan lagi datang bulan."

"Bacot."

Tin melompat turun dari rumah pohon di depan sekretariat. Dia bahkan nggak repot-repot menggunakan tangga. Langsung gelantungan di tali tambang dan meluncur turun.

"Jangan lupa bikin desain kaos sama stiker buat kegiatan konservasi bulan depan Tin!"

Pete sempat-sempatnya berteriak dari atas rumah pohon. Tin nggak menyahut. Desainnya sudah jadi, tapi dia malas memberi tahu Pete.

Sore itu langit cerah ditaburi awan putih. Matahari hampir terbenam. Tin berjalan menjauhi arah pulang. Geresak daun kering di bawah sepatu botnya terdengar nyaring. Tin memasukkan tangan ke saku hoodie. Matanya mengawasi jalanan.

Tin butuh menghirup udara berkualitas. Otaknya mampet. Kepalanya mumet. Dia kebanyakan minum kopi dan whisky. Matanya keseringan ngadepin monitor. Dia bahkan mulai jarang terpapar sinar matahari. Tin benar-benar nolep.

Sepanjang jalan Tin bertanya-tanya, kenapa ia begitu terpengaruh. Can hanya seorang reader. Bahkan jika ia memblokir Tin, nggak ada pengaruhnya. Ia masih punya pembaca lain.

Tapi Can beda.

Kenapa dia sepanik itu saat mengira Can unfollow dirinya? Kenapa dia merasa nggak nyaman saat Can marah padanya? Apa karena mereka terlalu intens berkomunikasi? Harusnya dia biasa aja.

Apa gue terlalu baper?

Deg.

Tin nggak mungkin melakukan kesalahan yang sama kedua kali. Jangan sampai itu terulang lagi.

Angin sore di bulan April sehari setelah ulang tahunnya berhembus perlahan. Ranting pohon bergoyang. Daun berguguran. Semburat warna jingga kemerahan meninggalkan berkas cahaya terakhir di langit barat.

Tin berjalan pulang. Dengan langkah kaki yang semakin berat.

.

.

.

TBC



















































































April itu musim semi. Gue lahir di musim semi, tapi bawaannya emo. Wkwkwkwkwkwk...

 Wkwkwkwkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









May 15, 2021

CRUSHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang