Tak ada jawaban dari Ellgar. Sepertinya, Ellgar masih terlampau kecewa kepada Rival karena gagal menjaga adiknya. Hal itu membuat Rival menghela napasnya panjang, ia pasrah.

"Oke. Nggak pa-pa." Rival tersenyum paksa.

"Iya lo nggak boleh peluk gue," sambung Cahya. "Gue yang bakal meluk lo."

Tanpa aba-aba, Cahya langsung mendekati Rival lalu memeluknya erat tanpa celah sedikit pun. Kepalanya bersandar di dada Rival yang penuh kenyamanan ini. Cahya bahkan memejamkan matanya ketika merasa tangan Rival mengelus rambutnya dan sesekali menepuk punggungnya pelan, terasa menenangkan.

Cahya paham betul bagaimana perasaan Rival saat ini. Bahkan ia juga kasihan melihat darah yang mengering di sudut bibir Rival. Abangnya memang tidak kira-kira, datang-datang sudah meninju Rival, padahal luka Rival sebelumnya belum agak sembuh.

"Maaf, Sayang ...."

"Bukan salah lo," gumam Cahya masih memeluk.

Ellgar berdeham agak keras sebagai kode. Rival yang paham langsung melepaskan pelukannya.

"Siapa yang nampar lo?" tanya Genta yang dari tadi hanya menyimak.

"Lionel Ivander."

"Bangsat!" Semuanya laki-laki di sana kompak mengumpat. Berarti dugaan Rival tak meleset.

"Lo berhasil ngelacak, Gen?" tanya Rival.

Genta mengangguk. "Berhasil. Tapi ga tau sekarang dia udah pergi belom dari wilayah itu."

"Kita berangkat sekarang!" titah Ellgar.

"Gue di sini dulu," ujar Rival. Ia masih ingin memandang Cahya dan memastikan pacarnya baik-baik saja. "Nanti gue nyusul. Share lok kalo udah ketemu."

Ellgar mengangguk. Ellgar dan teman-temannya ditambah oleh Genta pergi untuk mencari Lionel.

Sasa yang paham Cahya dan Rival butuh waktu berdua langsung izin membuat minum di dapur.

Rival duduk di sofa berdampingan dengan Cahya. Mereka berdua duduk berdempetan sangat dekat. Di jarak dekat seperti ini, Rival memandang lekat Cahya.

"Sakit?"

Cahya mengangguk. "Masih agak panas pipinya."

Tangan Rival mengelus lembut pipi kanan Cahya yang memerah lalu meniupnya pelan. Perlakuan sederhana tapi bisa membuat jantung Cahya berdebar-debar.

"Besok kalo mau pulang, langsung ikut gue ke mobil. Nggak ada penolakan!"

"Tapi kan, itu mobil Papa lo."

"Nggak ada penolakan. Nurut kek!" Rival sudah mulai ngegas membuat Cahya diam.

"Ke rumah sakit yuk?" ajak Rival tiba-tiba.

"Mau ngapain?"

"Ya ngobatin pipi lo."

"H-hah?!" kaget Cahya. Lebay sekali Rival ini. "Cuman kaya gini Rival. Nggak parah."

"Ck! Biar nggak panas lagi pipinya. Apa gue datengin dokter kulit ke sini?"

Cahya menggeleng. Ia menolak tegas. "Apaan sih!"

"Gue telpon ambulans ke sini ya?" tawar Rival berlebihan.

"Lebay lo!"

"Demi apapun, Cay. Gue pengen ngobrak-ngabrik bumi dan segala isinya, ngeliat lo lecet kaya gini."

Cahya melongo mendengar perkataan Rival yang ngawur itu. Tangan Cahya menyentuh dahi Rival. "Perasaan nggak panas."

"Coba ceritain kronologinya," ucap Rival mengalihkan pembicaraan.

Cahya menarik napasnya dalam sebelum menceritakan segalanya. Ia dengan santai menceritakan adegan per adegan.

Rival dengan seksama mendengarkannya sambil menatap lekat wajah Cahya yang penuh ekspresi ketika menceritakannya.

"Jadi gitu, Val," ucap Cahya ketika selesai menceritakannya. Cahya lalu mengatungkan tangannya seperti pengemis.

"Sekarang bayar gue!"

"Lah, buat apa?" bingung Rival.

Cahya menyengir. "Gue tadi nampar Lionel buat balesin dendam lo."

"H-hah?! Lo nggak boong?"

"Ya enggak lah. Tanya Sasa kalo nggak percaya. Abis sebel, dia ngeroyok cowok gue!"

Rival tercengang sebentar. Cahya sampai sebegitunya untuk membelanya. "Nikah sama gue sekarang ayok!"

"Yeee itu mah maunya elo."

Rival tersenyum lebar. Ia menyelipkan beberapa helai rambut Cahya ke belakang telinga. "Gue berangkat dulu, ya. Si Genta udah share lok."

Cahya langsung merangkul lengan Rival erat. Ia tak ingin Rival pergi meninggalkannya. "Ga boleh pergi. Kalo mau pergi, gue harus ikut."

"Enggak, Cahya. Lo harus pulang, Om Bumi pasti nyariin elo."

Cahya cemberut. Ia masih ingin bersama Rival.

"Nanti gue beliin Silverqueen satu kilo deh." Rival mengelus pipi kanan Cahya yang terkena tamparan lagi. "Pulang ya, biar dianter Sasa."

Cahya akhirnya mengangguk menurut.

"Biar dikawal sama bodyguard gue." Rival masih takut nanti ada musuhnya atau musuh Ellgar yang masih berkeliaran dan menargetkan Cahya. Karena itulah, ia perketat penjagaannya.

Rival menelpon bodyguardnya yang ada di luar gerbang. Baru saja satu panggilan langsung diangkat.

"Om, nanti kawal mobil yang keluar gerbang, ya."

"Lah, kita kan disuruh jagain anak tuan Reynald."

"Kan ada dua mobil 'kan, Om? Satunya biar sama aku, satunya lagi ngawal mobil lain. Oke? Nanti Rival kasih tambahan duit deh." Siapa coba yang bisa menolak duit? Pasti semuanya akan tunduk jika disuap duit.

"Siap. Emang siapa kamu kok harus dikawal?"

"Calon Nyonya Antergio." Setelah mengatakan itu Rival langsung mematikan sambungannya.

Cahya yang menyimak obrolan itu dari tadi sulit bernapas, jantungnya berdebar gila. Perkataan calon Nyonya Antergio terus terngiang-ngiang di telinganya. Hanya dengan kata itu bisa membuatnya baper bukan main.

"Lo hebat banget bikin orang baper," gumam Cahya lalu menggigit bibir bawahnya agar tidak tersenyum.

"Nggak niat baperin lo kok. Orang gue ngomong kenyataan," elak Rival.

"Untaian doa yang selalu gue panjatkan adalah biar lo nantinya bisa jadi Nyonya Antergio," lanjut Rival mengatakan kalimat penuh gula itu.

Cahya langsung mleyot mendengar itu. "Aaaa .... Mau peluk lagi," rengeknya manja disambut tawa renyah dari Rival.

****

Thank you ❤️ jangan lupa untuk tekan bintang 💓

RIVAL (UP BAB BARU)Where stories live. Discover now