BAB 1 : Lelaki Terbaik

1K 145 12
                                    


Freya jatuh tersungkur menimpa seseorang. Seorang lelaki yang mengenakan seragam yang sama dengan dirinya. Terdengar suara erangan dari lelaki yang berada di bawahnya itu. Freya terkejut dan kesulitan menggerakkan tubuhnya. Dia bisa mendengar suara detak jantung lelaki itu di telinganya. Lalu, Freya berusaha untuk berdiri lagi. Tapi, sulit. Batu sialan yang mencuat di depannya itu merusak paginya. Dia terlalu sibuk bercanda dengan Debora sampai-sampai tak menyadari keberadaan batu di depannya, kemudian kakinya terantuk. Dia terjatuh tepat di depan seorang lelaki yang berjalan di depannya.

"Frey, kamu enggak apa-apa?" tanya Debora di sampingnya. Teman sekelasnya itu membantunya berdiri. Di saat itulah Freya berhasil menguasai diri dan mengangkat tubuhnya. Di saat itulah Freya bisa melihat wajah lelaki yang ditabraknya.

Ketika Freya tersandung, lelaki itu seakan sadar ada bahaya di belakangnya. Dia membalikkan tubuh dan menangkap tubuh Freya. Akan tetapi, karena tak siap dengan serangan dari Freya, lelaki itu ikut terjatuh.

"Ah, bagaimana ini?" tanya Freya kebingungan, ketika dia berhasil melepaskan diri dari lelaki di hadapannya. "Kamu enggak apa-apa?" Freya menyentuh lengan lelaki itu, mencoba membantunya berdiri. Tapi, lelaki itu mengaduh, kedua alisnya bertaut dan menunjukkan wajah sebal ke Freya. "Maaf."

Lelaki itu bangun, duduk dengan memegangi lengannya. Lalu, dia melihat ujung sikunya. Darah merembes di sana, membuat mata Freya membulat. Pada ujung baju lelaki itu, darah tercetak jelas.

"Astaga! Bagaimana ini? Kamu berdarah!" Freya panik, begitu juga dengan Debora. "Kita ke UKS, ya!" tawar Freya.

Saat ini, jam pulang sekolah. Beberapa anak sekolah melihat ke arah mereka karena rasa penasaran. Mereka berbisik-bisik, kemudian kembali berjalan.

"Enggak perlu," akhirnya lelaki itu bersuara.

"Kamu berdarah," paksa Freya. Lelaki di hadapannya itu masih memasang wajah menyebalkan. Pantas saja dia seperti itu, sebab Freya telah membuatnya terluka. Freya pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. "Mau, ya?" tawar Freya lagi. Pemuda itu tak menjawab, dia justru bangun dan meninggalkan Freya dan Debora.

Sejenak, Freya melongo. Dia kebingungan dengan sikap pemuda itu. Lalu, dia mengejarnya. "Hei, aku harus bertanggung jawab," kata Freya. Pemuda itu melihat ke arahnya. Mereka berdua berjalan bersisian. Dengan posisi seperti itu, Freya tahu, tinggi lelaki itu sekitar 170 sentimeter, rambutnya ikal, bulu matanya lentik, hidung bangir, dan bibir tipis berisi. Ah, kenapa Freya justru berpikiran macam-macam?

"Kamu pendek, ya?" tukas pemuda itu tiba-tiba. Hal itu membuat Freya terkejut. Dia membulatkan matanya dan berhenti. Pemuda itu ikut berhenti.

"Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu?" ucap Freya. "Itu termasuk perundungan!"

Pemuda itu menarik sudut bibirnya. Dia menunjukkan sikunya yang berdarah pada Freya. "Lalu, ini apa? Pembunuhan tak berencana?" tanyanya sinis.

"Kau ini!" sentak Freya. "Aku akan bertanggung jawab, tetapi kamu pergi begitu saja. Jangan seenaknya sendiri menyimpulkan sesuatu."

Pemuda itu mendesah, dia melihat nama pada dada Freya. Freya buru-buru menutupnya dengan jaketnya. Pemuda itu terkekeh. "Nafreya Rendra," pemuda itu menyebutkan nama lengkap Freya. "Kalau kamu memaksa untuk bertanggung jawab, besok akan kuhubungi," katanya. Dia melirik ke arah jam tangan di pergelangan tangan kanannya. "Sekarang aku tak punya waktu."

"Eh ..."

"Sampai besok!"

***

Freya berkali-kali mengumpat ketika naik angkot. Di dalam angkot tersebut hanya ada Freya, Debora dan satu siswi di beda sekolah. Supir angkot mengintip Freya dari kaca spion, melihat gadis itu sedang marah-marah.

Going On A Fake DateWhere stories live. Discover now