✧ BAB 05 ✧

135 22 4
                                    

Hari itu di tengah riuhnya jam istirahat, Chelsea dengan wajah cantiknya yang kelihatan pucat-tak seperti biasanya- berjalan lemah memasuki cafetaria yang luasnya dua kali dari rumah barunya. Kedatangannya sontak mengundang tatapan sinis beberapa pasang mata membuat Chelsea mulai merasa tak nyaman.

Tanpa basa-basi Chelsea langsung memesan sesuatu seperti yang diperintahkan oleh kakak kelasnya, Abelle yang berniat menghabiskan waktu istirahatnya di ruangan penuh buku bersama seseorang. Dan tentu saja saat mendengar nama Abelle disebut, pesanan segera siap kurang dari tiga menit tak peduli seberapa ramainya antrian.

Tak betah berlama-lama, dengan sebuah baki berisi hidangan western di tangan Chelsea membawa tubuhnya yang terasa sangat lemas keluar dari ruangan yang sebagian penghuninya adalah orang-orang yang merundung dirinya tempo hari. Namun baru beberapa langkah melewati garis cafetaria gadis berpotongan pendek itu tiba-tiba kehilangan keseimbangan tatkala pusing mendera kepalanya. Sedetik kemudian tubuh kurus Chelsea ambruk ke lantai bersamaan dengan pesanan Abelle yang juga jatuh berantakan.

Orang-orang yang berada di sekitar Chelsea dibuat terkejut menyaksikan hal itu namun tak ada tanda-tanda mereka akan mengulurkan tangan untuk membantu Chelsea; mereka tak sedikit pun bersimpati apalagi peduli.

Namun tak semua manusia begitu. Seorang gadis bermata minimalis yang baru saja lewat tak sengaja mendapati Chelsea tergeletak tak berdaya dengan wajah pucat pasi dan makanan yang berserakan di lantai. Hatinya seketika merasa miris saat sadar tak ada seorang pun yang menolong gadis itu, malah mereka semua bertingkah seolah tak ada yang terjadi di dekat mereka dan kembali melanjutkan kegiatan dengan sebegitu biasanya. Dan yang lebih membuat hati gadis itu terasa kian teriris adalah karena kejadian tersebut kembali mengingatkan dirinya dengan apa yang pernah ia alami dulu. Membuatnya tak sengaja kembali mengingat luka lamanya yang bahkan tidak pernah sembuh.

"Apa orang-orang itu nggak bisa menempatkan diri mereka pada keadaan seseorang? Cih, apa gunanya menjadi manusia tanpa hati nurani," umpat gadis pemilik name tag bertuliskan Kezia Lizina itu sebelum melangkah mendekati Chelsea dan berusaha mengangkat tubuh gadis itu dengan susah payah.

Tubuh Kezia tak cukup kuat untuk mengangkat Chelsea sendirian. Namun saat ia melihat sekelilingnya, tak seorang pun berniat membantu keduanya. Persetan dengan manusia tanpa kepedulian itu, Kezia akan berusaha keras untuk ini.

Namun sekali lagi tak semua manusia seperti itu. Seseorang datang dan tanpa aba-aba langsung membantu Kezia mengangkat tubuh Chelsea membuat Kezia terperangah sesaat dengan ketulusan hati gadis cantik pemilik mata besar itu.

Shella Fernanda, hari ini ia membuktikan ucapannya pada Kezia bahwa ia akan siap sedia saat Kezia membutuhkan bantuannya kapan pun ia bisa.

"Ayo Kez kita bawa dia ke unit kesehatan." Suara bernada lembut milik Shella menyadarkan Kezia. Mereka membenarkan rangkulannya pada Chelsea sesaat sebelum membawa gadis itu ke UKS diiringi tatapan tak suka orang-orang di sepanjang lorong yang mereka lewati.

Selama perjalanan menuju UKS tidak ada di antara mereka yang membuka percakapan. Hingga sebuah label bertuliskan Unit Kesehatan Sekolah yang menggantung akhirnya bisa tertangkap mata dalam jarak beberapa meter dari posisi mereka sekarang membuat mereka sontak mempercepat langkah agar segera sampai di sana.

Kezia dan Shella membaringkan Chelsea di salah satu bangkar UKS dengan hati-hati. Setelahnya Shella beranjak membuatkan Chelsea teh manis hangat lalu meletakkannya di atas nakas samping bangkar.

Kezia yang sejak tadi terdiam memperhatikan Shella yang kelihatan repot segera menyadarkan dirinya sendiri saat Shella mulai menatap ke arahnya.

Shella tersenyum kecil. "Makasih, Kez. Di antara banyak orang tadi, kamu adalah satu-satunya orang yang peduli sama anak ini." Bola mata indah Shella beralih menatap Chelsea, gadis itu lalu mengecek suhu tubuh Chelsea yang lumayan hangat.

Sementara Kezia di tempatnya terdiam setelah mendengar kata-kata Shella yang agak aneh menurutnya. Kenapa justru Shella yang berterimakasih atas sikap baiknya. Bukankah gadis itu juga sama baiknya bahkan mungkin lebih.

"Tolong jagain dia sampai bangun, ya? Terus juga nanti tolong minta dia untuk minum teh ini. Seseorang lagi nunggu aku sekarang." Usai berkata begitu Shella mulai melangkah keluar dari ruangan serba putih itu. Namun baru berjalan beberapa langkah suara lemah seseorang berhasil menghentikan gerakannya.

"T-tunggu." Chelsea memegangi kepalanya yang masih terasa pusing seraya berusaha bangkit duduk.

Kezia tak tinggal diam, gadis itu membantu Chelsea kemudian menyodorkan secangkir teh hangat yang telah dibuat Shella seperti yang tadi dikatakan gadis itu.

"Eh, syukurlah kamu udah sadar. Apa yang kamu rasain sekarang?" tanya Shella seraya melangkah kembali menuju Chelsea. "Kenapa bisa sampai pingsan?"

Chelsea tersenyum. "Kalian yang udah bawa aku ke sini? Makasih banyak," ujar Chelsea tak segera menjawab pertanyaan Shella. Matanya tak sengaja mendapati label kelas yang terpasang di lengan seragam Kezia dan Shella. "Kak," sambungnya.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku. Kenapa bisa sampai pingsan? Belum sarapan, kah?"

Chelsea menghembuskan napas panjang seraya menurunkan pandangannya. Gadis itu belum makan apa pun sejak dua hari lalu karena hari libur-kalau di sekolah ia tentu bisa makan makanan gratis dari cafetaria. Ia telah sepakat untuk tidak makan makanan yang diperoleh dari mamanya, karena Chelsea pikir uang yang mamanya dapatkan bukanlah dari pekerjaan yang baik dan Chelsea tidak ingin uang itu mengotori lambungnya.

Melihat wajah pucat Chelsea yang murung, Shella ikut menghembuskan napas. "Aku bawain makanan ke sini aja kali, ya? Kita makan bareng, kayaknya bakal seru. Sekalian aku juga mau ajak teman aku untuk gabung di sini biar makin rame." Shella menjelaskan dengan mata besarnya yang berbinar-binar juga senyum yang terus tercetak membuat aura positifnya terasa begitu kuat.

Chelsea tidak tahu harus merespon bagaimana selain balas tersenyum dan berterimakasih atas sikap baik kakak kelasnya yang satu itu. Ternyata ia masih beruntung karena telah dipertemukan dengan orang baik seperti dua orang ini.

Bola mata indah Shella beralih menatap Kezia yang sejak tadi diam dengan tampangnya yang selalu datar. "Kezia jangan kemana-mana dulu. Kita makan bareng," ujarnya dengan raut wajah yang sengaja dibuat galak agar suasana di antara ia dan Kezia tidak terlalu canggung usai komunikasi terakhir mereka di gedung belakang sekolah.

Namun sebelum Shella benar-benar melewati garis UKS, seseorang tiba-tiba muncul di ambang pintu dan membuat Shella terpaksa harus menghentikan langkah untuk yang kedua kalinya.

"Gue nungguin lo kenapa malah di sini?" Suara bernada elegan itu sontak membuat pupil mata Shella membesar sesaat. Abelle menghampirinya.

"Anak ini pingsan, aku nggak bisa diam aja kan?" jawab Shella seraya menggeser tubuhnya, memberi ruang pada Abelle untuk melihat kondisi Chelsea.

Di atas bangkarnya Chelsea terkejut saat mendapati Abelle menatap lurus ke arahnya. Gara-gara pingsan ia bahkan jadi tidak ingat sedang apa ia tadi sebelum tak sadarkan diri.

"Kak Abelle? Maaf tadi aku-"

"It's okay." Abelle berjalan lebih dekat ke arah Chelsea. "Lo nggak perlu minta maaf atas hal yang menimpa lo."

Chelsea terenyuh. Abelle ternyata tidak sekejam seperti yang orang-orang pikirkan.

"Jadi dia yang kamu minta untuk bawain makanan tadi?" Shella bertanya.

"Hu'um. Dan karena dia nggak datang juga, gue nyuruh lo." Abelle memutar tubuhnya menghadap Shella. "Tunggu apa lagi? Cepat bawain makanannya ke sini," titah Abelle kembali menyebalkan.

Shella mengangguk pelan. Ia mulai beranjak menuju cafetaria dengan suasana hati yang baik. Namun setelah beberapa menit berjalan, ia baru sadar bahwa ada langkah lain yang menyusulnya dari belakang. Dan saat Shella menoleh, ternyata itu adalah Kezia. Gadis itu berjalan bersamanya. Tanpa kata. Dan hanya mata yang berbicara seolah Kezia tengah mengatakan satu hal padanya:

Gue akan mencobanya, untuk mulai percaya lagi pada manusia setelah cukup lamanya.

Senyum Shella terukir. Sepertinya di tahun terakhirnya ia bersekolah, aktivitas hariannya akan sedikit lebih berbeda dari biasanya. Karena agaknya rutinitas Shella tidak lagi hanya sebatas menghabiskan waktu di perpustakaan, tapi setidaknya ada seseorang yang bisa ia sebut sebagai teman untuk ia ajak interaksi di setiap harinya.

___

FRAGILE || StarBe✧Where stories live. Discover now