✧ BAB 04 ✧

156 32 11
                                    

Air dari keran terus mengalir membasahi sepasang tangan yang tiada henti saling bergesekan. Si empunya tangan menatap pantulan dirinya di cermin besar milik sekolah itu. Guratan emosi tergambar jelas pada wajah cantiknya yang kelihatan murung.

“Lo yakin Abelle bisa nyaingin mendiang kembaran lo kalau nilai lo aja masih stuck di situ-situ terus?” monolognya dengan suara bergetar mengingat ia baru saja mendapat angka sembilan puluh delapan pada kertas ulangan hariannya tadi. Apa kata ayahnya nanti, ia pasti dibandingkan lagi. “Kapan lo bisa perfect sih, Belle? Kapan?!”

Abelle menangis meraung menumpahkan segala emosinya yang lama ia pendam. Biarkan saja. Takkan ada yang tahu kalau Abelle sedang menangis sekarang, sebab gadis pemilik rambut blonde itu telah mengunci rapat pintu toilet sehingga tidak ada seorang pun yang akan datang untuk melihatnya.

Namun siapa sangka kalau di bilik toilet paling ujung itu terdapat seseorang yang sejak tadi mendengarkan celotehan Abelle tanpa disengaja. Ia tengah membuang air kecil tadi, lalu tiba-tiba saja mendengar suara pintu dikunci dan ternyata pelakunya adalah Abelle. Ia merasa sedikit khawatir.

Dengan wajah penuh air mata, Abelle terus mencuci kedua tangannya secara berlebih. Perasaannya selalu kalut setiap memikirkan bagaimana pendapat ayahnya mengenai dirinya yang katanya tak becus ini. Abelle selalu merasa frustasi dan nyaris gila hanya gara-gara itu.

Pelan-pelan seseorang di bilik toilet paling ujung itu keluar. Matanya melebar mendapati Abelle dengan tampilan yang tampak benar-benar kacau. Rambut acak-acakan. Seragam urakan dan sedikit basah karena terciprat air keran. Wajah memerah yang tampak sedih dan tertekan. Juga kedua tangan yang tak berhenti saling bergesekan.

Ini pertama kalinya seseorang melihat Abelle dalam keadaan terpuruk. Semua orang tahu bahwa biasanya Abelle selalu menunjukan bahwa dirinya 'kuat' di sekolah sehingga tidak ada yang berani macam-macam. Ia selalu merasa berkuasa sehingga bisa melakukan apa pun sesuka hatinya. Tapi sekarang?

“Ternyata apa yang selalu tampak belum tentu itu kebenarannya.” Perkataan itu tercetus begitu saja dari bibir seseorang di ujung toilet. Membuat Abelle sontak menoleh padanya. Membuat sang pelaku sontak menepuk mulutnya sendiri karena telah ceroboh.

Pandangan Abelle yang semula kosong langsung menajam saat itu juga. Ia mengusap kasar wajahnya yang banjir air mata. Kemudian ditatapnya dengan garang seseorang yang kini tengah memainkan jarinya secara gelisah dengan kepala menunduk.

“Lo—” Abelle menghunus gadis itu dengan tatapannya. “Sejak kapan lo berdiri di situ?” tanyanya dengan suara serak akibat menangis lumayan lama.

“A-aku d-di—”

“Ngomong yang benar!” sentak Abelle membuat orang itu terkejut dan semakin gemetaran.

“U-udah dari tadi sebelum kamu masuk sini,” jawab gadis itu cepat berusaha berusaha melawan rasa takutnya. “Maaf aku nggak sengaja dengar perkataan kamu tadi.”

Abelle menatap gadis yang dikuncir kuda itu dari atas sampai bawah lalu berhenti pada name tag yang tertempel di seragam lusuhnya. “Shella Fernanda, right?”

Dengan cepat kepala itu mengangguk. Mereka satu kelas, kenapa Abelle masih menanyakan namanya.

Abelle tersenyum sinis. “Lo juara paralel berturut-turut, kan?” tanyanya dengan nada tak suka.

Shella hanya diam tak menjawab.

“Cih, pinter lo.” Abelle masih menatap Shella intens. Ia sedang mempertimbangkan rencana yang tengah dibuatnya di kepala. “Bisa nggak lo nggak juara satu lagi?” tanyanya yang ditanggapi pelototan mata oleh Shella.

“Maksud kamu?” tanya Shella dengan kerutan kentara di dahinya.

Abelle memutar bola matanya. “Nggak usah kaget gitu lah,” balas Abelle jengah. “Gini, biar gue kasih tau. Gara-gara lo gue selalu stuck di posisi nomor dua, dan sialnya gue nggak bisa nendang lo gitu aja dari sekolah. Kenapa lo caper banget sih?” ujar Abelle kesal. Sudah dari lama ia membenci gadis di depannya tapi tak pernah ia tunjukkan secara terang-terangan.

Shella menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Kalau begini ia tak bisa terus menunduk. “Dengar, seseorang bisa mencapai posisinya sekarang itu karena kerja keras. Dan kamu nggak bisa bicara semudah itu untuk minta orang mundur dari posisi yang selama ini udah dia usahain mati-matian.”

“Lo pikir selama ini gue nggak kerja keras?” balas Abelle kesal dan cenderung egois. “Dulu gue nggak pernah masuk sepuluh besar, lo tahu? Gue terus usaha sampai bisa ada di titik ini. Tapi posisi kedua nggak buat gue merasa puas!”

“Untuk bisa meraih posisi itu juga nggak semudah kamu membalikkan telapak tangan kan? So, hargai skill kamu, Annabelle.”

Abelle berdecak kesal. “Gue nggak butuh wejangan lo. Sekarang gini aja, berapa jumlah yang harus gue keluarkan biar lo nggak keras kepala lagi?”

Shella tersenyum sedih merasa tersinggung dengan perkataan Abelle. Ia memang orang tak mampu, tapi bukan berarti ia tak memiliki harga diri. “Nggak semua hal bisa dibayar dengan uang. Aku nggak bisa mundur dari posisiku gitu aja. Lagi pula, kamu yakin akan puas dan senang kalau bisa menempati posisi pertama dengan cara yang seperti ini?”

Abelle terdiam usai mendengar suara Shella yang masih terdengar stabil walau hatinya baru saja ia sentil.

“Bersainglah dengan sehat, Annabelle. Kalau perlu kita bisa belajar bareng, aku nggak masalah.” Ada maksud terselubung dari tawaran yang dilontarkan Shella. Gadis itu lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap lurus ke dalam mata kecil Abelle. “Maaf kalau ada perkataanku yang menyinggung.”

Usai berkata demikian Shella beranjak keluar dari toilet itu namun baru beberapa langkah ia berjalan suara Abelle kembali terdengar membuat langkahnya terhenti sesaat.

“Oke, kita belajar bareng mulai besok,” ucap Abelle final lalu gadis itu lebih dulu meninggalkan Shella yang masih mematung sembari menatap punggung tegapnya yang perlahan menjauh.

Bayangan tentang Abelle dengan kondisi yang kacau beberapa menit lalu kembali terputar di benak Shella. Hatinya seketika ikut terenyuh. Bibir tipisnya perlahan terbuka menggumamkan sesuatu, “Punggung yang kelihatannya tegap itu ternyata rapuh. Aku harus merangkul dia,” tutur Shella dengan suara kecil namun penuh keyakinan.

FRAGILE || StarBe✧Where stories live. Discover now