Ch. 25: About fried rice

Start from the beginning
                                    

"Okay. Now, back to work."

Tak membutuhkan waktu yang lama hingga aku mengikuti pergerakan Hanifa dan Dewa untuk membereskan barang-barang di meja lalu melangkah keluar dari ruang meeting. Begitu aku duduk di kubikel, Hanifa membanting notes yang dia bawa ke meja dan mengembuskan napas dengan kasar, seolah ingin semua orang tahu kalau dia sedang kesal dan tidak senang dengan hasil meeting hari ini.

"Mas Jero akhir-akhir ini makin emosian, ya?" komentar Hanifa dengan hidung yang kembang-kempis, pemandangan yang sudah beberapa kali kulihat. "Dulu Mas Jero nggak separah ini, lho?! At least kalau kesalahannya dari klien, dia nggak akan marahin kita, paling dia gerutu bentar karena klien lama tapi nge-push kita buat kerja cepet."

Dewa menaikkan bahu, tampak tidak begitu memusingkan kemarahan Mas Jero. Dia meraih setoples nastar di mejaku kemudian memakannya tanpa merasa berdosa. Seniorku yang satu itu memang sudah melakukannya beberapa kali—menghabiskan berbagai cemilan yang kusimpan. Awalnya dia selalu meminta izin, tetapi karena aku tidak pernah mengatakan tidak, sepertinya dia mulai merasa nyaman untuk menyantap cemilanku. Sebagai gantinya, Dewa sering mentraktirku kopi.

"Efek mau menikah, tuh," sahut Dewa enteng. Eh? Aku baru tahu kalau Mas Jero baru akan menikah. Kupikir selama ini manajer itu sudah berkeluarga mengingat umurnya sudah menginjak kepala tiga. "Mungkin dia ribut terus sama calon istrinya perihal persiapan menikah. Pasangan kebanyakan kan, begitu. Semakin dekat dengan tanggal pernikahan, semakin banyak ributnya karena perbedaan pendapat."

"Padahal pernikahannya sebentar lagi. Seharusnya persiapan udah 70 sampai 80 persen, kan? Mereka tinggal memastikan kalau nggak ada miskom dengan WO di hari-H. Harusnya aura Mas Jero tuh cerah, berbahagia. Ini makin hari malah makin suram," gerutu Hanifa, membanting tubuhnya di kursi.

"Pantes aja Mas Jero ngomel begitu tahu progress nggak signifikan," celetukku. Kontan, Hanifa dan Dewa menoleh, seperti tidak mengerti mengapa aku menyimpulkan hal itu. "Mas Jero pasti nggak akan tenang selama cuti menikah kalau KA-ANDAL nggak bisa selesai bulan ini. Selain diteleponin klien, pasti dia juga dicecar sama atasan."

"Keren juga analisis lo," gumam Dewa.

Hanifa mendengus. "Kok lo nggak kesal, Lun?" tanyanya. "Padahal lo kena damprat juga karena lo yang ngurus dokumen-dokumen klien. Udah mulai beradaptasi, ya, sama omelannya Mas Jero?"

Aku menyengir.

Sejujurnya, menerima omelan Mas Jero bukanlah hal yang besar. Tinggal terapkan solusi masuk kuping kanan keluar kuping kiri supaya tidak begitu sakit hati mendengar perkataannya yang terkadang menusuk.

Lagi pula, dibandingkan dengan kantorku yang lama, rentetan kemarahan Mas Jero tidak berarti apa-apa. Setidaknya, di tempat kerjaku yang sekarang, lingkungan kerja masih suportif dan tidak saling menyikut untuk mencari muka ke atasan. Belum lagi anggota timku cukup ceriwis dan menghibur kala penat menghampiri setelah menatap laptop dan membaca dokumen berjam-jam. Hal yang tidak pernah kudapatkan di kantor lamaku.

"Namanya juga anak baru, masih jaim," ledek Dewa sambil mengunyah. "Tunggu aja minggu depan. Potong leher gue kalau Luna nggak ikutan ngomel setelah kena damprat Mas Jero."

"Kok lo begitu sih, Wa?" cetusku, meliriknya jengkel. "Lagian, ya, kerja itu kalau dikit-dikit diambil hati yang ada malah makan hati sendiri. Namanya juga atasan. Kerjaannya apalagi selain omelin kacungnya?"

"Aduh, bijaknya anak baru ini," canda Dewa. Tangannya yang penuh serpihan kue nastar mengelus rambutku. Yang tentu saja langsung kutepis karena serpihan itu berpindah ke helaian rambutku. "Kita lihat aja, Fa, sampai kapan Luna bertahan buat bersabar sama Mas Jero."

Love: The Butterfly Effect [COMPLETED]Where stories live. Discover now