•12

1K 257 61
                                    

|Why We Should Break Up|

***

Lantunan musik jazz yang memenuhi ruangan dengan pencahayaan yang cukup temaram itu. Nyatanya sangat mendukung suasana hati laki-laki yang tengah menegak liquor dari gelas kaca dihadapannya. Satu kali tegakan dan ia menandaskan seluruh isinya. Membiarkan sensasi panas menguar dari kerongkongan dan menyeruak keseluruh bagian tubuhnya. Menciptakan sensasi sedikit pening yang kemudian berganti dengan efek melayang.

Entah sudah berapa lama dirinya tak pernah menyentuh cairan yang memberi sensasi candu memabukkan itu. Bagi seorang realistis dan pemikir kritis seperti Damian. Alkohol tidak pernah menjadi opsi utama penyelesaian masalahnya. Tapi lihatlah saat ini, dirinya dipecundangi keadaan sehingga membuatnya terkapar hanya dengan setengah botol whiski sebagai bentuk pelarian.

Sangat menggelikan, batinnya.

Ia memutar-mutar ponsel miliknya diatas meja. Mengetuk-ngetuk layarnya perlahan sampai akhirnya membalik ponsel tersebut dan mengacak rambutnya frustasi.

"Bob... Kenapa jadi begini sih?" Racau Damian. Sembari bergumam-gumam tak jelas. Kepalanya bergerak-gerak kecil, kekanan kadang kekiri dan berakhir terjatuh diatas meja.

Bobby, laki-laki yang bertugas menjadi bartender bar MOBB malam ini menghela nafas kesal.

"Kenapa tiap gue yang jaga apes mulu. Jadi barista di atas, ketemu Lisa. Jadi bartender di bar bawah ketemu elo." Kata Bobby menggerutu.

Bobby mendecak, sekaligus mencibir toleransi alkohol Damian yang terbilang rendah. Belum juga menandaskan satu botol penuh whiski. Laki-laki dihadapannya sudah terkapar tak berdaya dikuasai efek memabukkan alkohol yang dipesannya.

Kalau sudah begini - siapa yang akan membayar serta mengurus mantan pacar sahabatnya, Lisa.

Dengan berat hati, Bobby merogoh sakunya mencari ponsel miliknya. Ia segera menghubungi seseorang. Lama sekali tak ada jawaban, sampai terdengar suara diseberang sana - tanda panggilannya tersambung.

"Apaan?" Tanya suara serak tak bersahabat dari seberang sana. Membuat Bobby mendengus tak percaya.

"Baru jam sembilan aja udah tidur? Cepu banget lo, Jun." Cibir Bobby.

"Kampret! Lo telepon kalau cuma ngajak berantem mending gue matiin deh Bob. Belum tau aja rasanya dihantam laporan praktikum, proposal sama projek dan segala tetek bengeknya."

Bobby tertawa mendengar umpatan seseorang yang ia hubungi, June; kekasih Rose yang juga merupakan sahabat Lisa.

"Gue minta bantuan lo ya. Damian kobam di bar gue. Udah tewas deh kayaknya."

June mengernyit bingung. Meski dapat dipastikan Bobby tak mungkin melihat ekspresinya saat ini.

"Ya terus?"

Pertanyaan June membuat alis Bobby terangkat kemudian dirinya mendengus pelan, "Ya, lo kan yang kenal Damian juga. Bantuin dia gih, masa iya gue biarin dia tidur di bar gue? Gue aja kagak tau rumahnya."

"Ogah lah! Yang ada nanti gue bisa baku hantam sama Rose kalau tau gue bantuin mantan pacar Lisa. Lagian Lisa sahabat gue juga Bob, biarin aja si Damian disitu."

"Njir! Tingkat bucin sama kadar ketegaan lo beda tipis ya. Gini juga dia pernah deket sama lo." Ucap Bobby. Masih mencoba meyakinkan June diseberang sana.

Bagaimanapun juga, Bobby bukan termasuk tipe seseorang yang bisa mencampur adukkan urusan pribadi sahabatnya dengan pekerjaannya.

"Hhh... Sorry ya Bob. Bukannya apa-apa, tapi gue emang lagi mager aja. Mending lo telepon Jeffrey dah. Dia sahabat Damian juga noh."

✔ Why - We Should Break Up (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang