You Still Hold Me

Mulai dari awal
                                    

Senyuman lebar tergambar di wajahku. Lelaki itu juga tersenyum. Seperti biasa, ia mengenakan setelan rapih—kemeja putih polos dan celana kain krem. Rambut hitamnya dimodeli sehingga sedikit bagian dari dahinya terlihat.

Saat ia tiba di hadapanku, aku melangkah maju dan memeluknya, seperti yang selalu aku lakukan setiap kali kami bertemu.

Aku menyandarkan kepala di dada lelaki itu, lalu memejamkan mata sejenak. Ada jarak beberapa detik hingga Haein membalas memelukku.

Hanya dengan jarak waktu yang singkat itu, perasaanku menjadi gundah.

Ini pertama kalinya dia begitu, biasanya lelaki itu akan segera memelukku erat dan mengelus rambutku. Memang perkara kecil, tapi saat kau sudah lama menjalin hubungan dengan seseorang, perubahan perilaku sekecil apa pun akan menghasilkan lubang dalam hatimu.

Aku menunggu lelaki itu untuk mengeratkan pelukan kami, tapi ia hanya melingkarkan tangannya di punggungku hingga aku melepaskannya.

Kutatap kedua mata Haein, mencoba mencari jawaban dari sana. Hatiku meringis saat menyadari ia tak mampu menatap mataku dengan keteguhan. Lelaki itu mengalihkan pandangannya dariku.

Kakiku melangkah mundur. "Ada sesuatu yang salah?" tanyaku.

Haein menggeleng dan memaksakan senyum, "ayo, aku antar pulang."

Kami berjalan menuju parkiran dengan membicarakan kondisi ibuku, kemudian kembali terdiam hingga kami berdua duduk bersampingan di dalam mobilnya.

Kendaraan itu menyusuri jalanan kota yang dihiasi pepohonan tak berdaun.

Aku mengamati beberapa toko yang sudah mengganti dekorasi menjadi khas natal, beberapa bahkan menambahkan lampu berwarna hijau-merah. Semuanya terlihat meriah, bertolak belakang dengan suasana hatiku saat ini.

"Malam ini kau akan melakukan apa?" tanyaku memecahkan keheningan.

Haein membasahi bibirnya, matanya masih menatap jalanan. "Makan malam bersama orang rumah sakit," jawab Haein.

Aku kini teringat oleh persiapan pindahnya ke rumah sakit. "Ah, benar. Bagaimana persiapan pindahanmu, oppa?"

Ia mengetukkan jarinya di setir beberapa kali sebelum menjawab. "Lancar, kurasa. Sisa menunggu berkas dan aku sudah masuk awal tahun."

Aku mengangguk dan tersenyum. Setidaknya ada kabar bahagia yang aku dengar di masa seperti ini. "Kapan-kapan kita harus merayakan ini," ucapku.

Haein tidak menjawab, ia hanya menatapku dan tersenyum tipis. Namun senyuman itu pun tak terlihat tulus bagiku.

Atau mungkin hanya perspektifku saja yang sedang terlalu negatif? Jika ya, apakah perubahan perspektif ini terjadi karena kejadian yang menimpaku belakangan ini? Atau hanya sekadar karena aku tiba-tiba harus menetap di kota yang aku benci?

Aku berusaha untuk menerima keadaan dan membiarkan perjalanan kami diisi oleh keheningan.

Namun, keheningan itu begitu mencekam dan menyiksa. Detik demi detik aku dapat merasakan jarak yang terbuka lebar di antara kami. Benar bahwa Haein berada di sampingku, tapi aku merasa ia sangat jauh dariku.

Somehow, little did I know that we are reaching the end of the line.

***

Jung Haein
Seoul, 25th December 2018

Kupandangi jalanan kota Seoul yang penuh di malam natal itu. Arus jalan terhambat, semoga aku tidak terlambat. Saat menemui lampu merah, mataku memandangi papan reklame dengan tatapan kosong.

Aku telah menetapkan hati. Setelah puluhan kali merenung, aku sadar pada siapa perasaanku tertuju.

Sempat beberapa kali aku meragukan diri, berpikir akan kemungkinan bahwa ketamakan adalah hal yang mendorongku untuk memutuskan hal ini.

Tapi setelah menjalani keseharian bersama Nayoung di sela-sela jadwal padat kami, aku sadar bahwa jabatan yang ditawarkan ayah gadis itu bukanlah alasan utamaku. Aku bahagia bersamanya.

Tentu saja, aku juga pernah bahagia bersama Dain. Namun, meski terdengar sangat jahat—aku tak bisa membohongi hati bahwa perasaanku pada Nayoung hadir jauh sebelum aku bertemu Dain. Aku memang selalu mengaguminya.

Dan menyadari bahwa perasaan Nayoung padaku masih belum berubah, aku tahu bahwa kami memang ditakdirkan bersama.

Cincin permata telah aku persiapkan sejak beberapa hari yang lalu, dan aku berencana untuk memberikannya pada Nayoung di malam tahun baru. Namun sebelum itu, aku harus menyelesaikan semuanya dengan Dain.

Rencanaku adalah mengunjunginya di Ulsan sehari setelah natal, tapi rencana itu tak dapat dijalankan. Tentu saja, keberadaannya di Seoul memudahkanku untuk berkomunikasi dengan Dain, tapi keadaan sekarang tidak memungkinkan untuk hal itu.

Bagaimana tidak? Pada pertemuanku dengannya pagi tadi, sejak detik pertama mata kami bertemu, rasa bersalah menggerogoti hatiku dan membuatku tak berani untuk mengungkapkan kata perpisahan.

Aku tahu bahwa pada akhirnya aku tetap menyakiti Dain, tapi aku tak sampai hati untuk melakukannya saat ibunya bahkan belum siuman.

Mobil yang kukendarai itu kini berbelok masuk ke area perumahan elit. Beberapa saat lagi, aku akan merayakan malam natal dengan keluarga Nayoung di rumah milik mereka.

***

OH BEGITU Y MAS
HM CUKUPTAUU

:")

Anyway boleh gaaa kalau sebelum update selanjutnya comments chapter ini nyampe 700? 😳
I think kalau tiap readers comment sekali tiap sentence bakalan bisa sih? '-'

Aku pengen ngetes aja sihh kalau gabisa juga gapapa aku ttp update kok wkwkw

Question of the Day: How hurt was your lastest heartbreak?

For me, jujur putus yang terakhir bener2 susah dilakukan dan efeknya jauh lebih parah dari putus2 yang pernah kulalui selama ini. Not gonna lie aku bahkan sampe konsultasi hahahah

#breakupishardkids

Jah malah curhat. WWKWKWKWK

YAUDAH see u later💜
Jangan lupa presave Butter!!!!

Xx,
Jysa.

Arcadia | KNJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang