BAB 4

1.6K 310 140
                                    

Yang nungguin Ge, absen dulu yuk! :p

🌺🌺🌺

"Tiga bulan lagi, kamu akan menikah."

Moi terdiam. Tangannya yang tengah menata buku-buku kesayangan ke dalam kardus, seketika terhenti. Ucapan Tante Ami serupa godam yang menghantam kepala, meninggalkan efek kejut luar biasa. Gadis itu menatap wanita yang menjadi adik ayahnya.

"Mak-maksud Tante...?"

"Opa Dion ingin kamu menikah dengan cucunya. Katanya, dia pernah menyepakati soal itu sama papa-mama kamu."

Dionisius Maheswara. Moi kenal betul sosoknya. Pria tua baik hati, yang selama ini menganggap kedua orang tua Moi selayak anak kandungnya sendiri. Sebelum tragedi kecelakaan enam bulan lalu terjadi, Ferian Santoso-ayah Moi-bekerja pada perusahaan properti milik Opa Dion. Bahkan menyandang status sebagai karyawan terbaik di sana.

"Dalam waktu dekat, Opa Dion akan datang. Beliau bermaksud nanyain kamu dulu, bersedia atau enggak. Tapi ... kamu tahu, kan? Tante nggak bisa ngurus kamu lebih lama. Tante masih punya tiga orang anak yang juga mesti dijaga dan diperhatikan. Jadi, jangan membantah apa pun ucapannya."

"Tante, tapi Moi kan masih kuliah. Baru juga semester dua." Ada getaran sedih dalam suara Moi. Sejak kecelakaan itu merenggut nyawa kedua orang tuanya, diam-diam setiap malam, dia sering menangis di atas bantal. Dan sekarang, air matanya terasa akan kembali keluar.

"Memangnya kenapa? Kan kamu bisa tetap kuliah. Bagus malah, ada yang biayain pendidikan kamu." Tante Ami menghela napas, tangannya terlipat di depan dada. "Udah deh, Moi. Jangan manja. Jangan cengeng. Mulai sekarang, kamu harus bisa mandiri. Jangan apa-apa tuh, bergantung sama orang. Kamu berharap apa? Tante biayain hidup kamu? Jelas, nggak bisa. Tante juga punya rumah tangga. Keluarga. Tahu sendiri kan, Om kamu nggak begitu banyak membantu. Tante juga yang harus kerja."

Setetes bening mengalir di pipi Moi, dan dia cepat-cepat menyekanya. Demi apa pun, tidak pernah terbesit dalam kepala gadis itu untuk menikah di usia muda.

"Kamu tuh harusnya bersyukur. Masih ada keluarga Opa Dion yang mau nerima kamu. Padahal, ngapa-ngapain aja nggak bisa. Liat tuh, anak-anak Tante. Desy, masih SMA udah bisa cari duit sendiri. Melly, dari kecil udah pinter ngerjain pekerjaan rumah. Kevin? Biar cowok begitu, masaknya jago. Lah, kamu?"

Moi menundukkan kepala. Meski hatinya nyeri, dia tahu Tante Ami berkata benar.

"Makanya, Tante dulu berulang kali bilang sama almarhum Papa kamu, anak itu nggak boleh dimanja. Sekarang, begini jadinya. Tanpa mereka, kamu nggak bisa apa-apa, kan? Disuruh cuci piring, ada mulu yang pecah. Masak, ada aja yang gosong. Cuci baju, nggak pernah bersih. Bikin pusing doang bisanya. Mending Melly ke mana-mana. Udah, nggak usah nangis! Beresin tuh novel-novel kamu, kalo udah kelar, masukin gudang. Atau kasih ke siapa, kek. Menuh-menuhin rak buku Desy aja."

Tante Amy terdengar mendengkus. Sebelum berbalik pergi, dia meletakkan selembar foto di depan Moi. "Nih, kemaren Opa Dion kasih foto calon suamimu. Namanya Genta. Setelah menikah, kamu akan bergantung sama dia. Jadi, baik-baik. Jangan bikin dia marah, kalo kamu nggak mau didepak begitu aja."

Percakapan bersama Tante Ami beberapa bulan lalu, kembali melintas dalam ingatan Moi. Dari balik novel di tangan, dia memandang Ge. Lelaki itu tengah fokus menggambar pola bangunan. Seperti biasa, dengan wajah tanpa ekspresi.

Moi meneguk ludah, tatkala ingatannya mengilaskan peristiwa sore tadi, ketika Ge meluapkan amarah padanya. Sejak mereka kembali ke rumah, lelaki itu hanya membisu.

Pengantin Ge-MoiWhere stories live. Discover now