BAB 3

1.6K 330 152
                                    

Begitu Ge selesai membayar barang belanjaan, Moi bergegas menghampiri lelaki itu, merogoh kantong plastik di tangannya. Dia mengeluarkan tiga buah kinderjoy—yang pada akhirnya terpaksa dibeli oleh Ge. Lalu, Moi berjalan menghampiri seorang bocah lelaki yang menangis tersedu-sedu. Dengan tangan mungilnya, anak itu menunjuk-nunjuk rak di depan kasir.

"Nih, kakak kasih kinderjoy-nya. Udah ya, jangan nangis lagi," kata Moi, seraya membelai puncak kepala anak tersebut, membuat tangisnya seketika mereda.

"Aduh, Mbak, nggak usah...." Ibu anak itu berupaya menolak, tetapi Moi memberikan senyumnya.

"Nggak apa-apa, Bu. Ini juga bukan dari saya," jawab Moi enteng. Kepada bocah berusia lima tahun di depannya, Moi menunjuk Ge yang memandangi mereka. "Tuh, yang ngasih kakak itu, tuh. Katanya, kamu ngga boleh nangis lagi, oke?"

Bocah tersebut mengangguk cepat. Dia mengucapkan terima kasih dengan senang. Usai berpamitan pada mereka, Moi kembali menghampiri Ge. "Yuk, Kak!" serunya.

Dengan langkah gontai, Ge menyusul Moi yang berjalan mendahuluinya. Dalam diam, dia memandangi punggung mungil gadis itu.

🌺🌺🌺

Begitu terbangun dari tidur, Ge seketika berderap menuju dapur. Seperti biasa, dia harus menyiapkan sarapan. Moi benar-benar tidak bisa diharapkan untuk pekerjaan rumah tangga. Menurut tantenya, gadis itu terbiasa hidup nyaman sedari kecil. Sebagai putri semata wayang, dahulu Moi sangat dimanja oleh kedua orang tuanya.

Ge tengah menghidangkan telur dadar dan sayur bening di meja makan, ketika Moi muncul dengan wajah riang. Melihat menu sarapan hari ini, senyum gadis itu mendadak lenyap.

"Yah ... telur dadar lagi," keluhnya. Namun, dia tetap berjalan ke rak, mengambil piring untuk makan.

"Nggak usah bawel. Syukur dimasakin," ketus Ge. Setiap pagi, lelaki itu hanya mampu menyiapkan menu-menu sederhana. Dia tidak punya banyak waktu luang, karena harus segera pergi bekerja.

Bibir Moi mengerucut. Tangannya bergerak mengisi piring dengan makanan.

"Kak Ge nggak makan?" Meski sudah tahu jawabannya, Moi iseng bertanya.

"Ntar aja. Habis mandi," sahut Ge. Lelaki itu berjalan kemudian, hendak kembali ke kamar. Dia harus bersiap-siap untuk berangkat ke kantor.

"Kak, ntar aku pulang sore lagi, ya!" Moi berseru, sebelum tubuh Ge menghilang di balik pintu. Namun, tidak ada sahutan. Hembusan napas panjang terdengar kemudian. Moi mengerti, Ge tidak pernah ambil pusing dengan urusannya.

🌺🌺🌺

Moi menguap lebar, matanya berat oleh kantuk. Dia tidak pernah berhasil menjaga fokus dengan baik, ketika mata kuliah Statistika berlangsung. Syukurlah, perkuliahan hanya tersisa sepuluh menit lagi. Setelah ini, dia bisa segera bertemu Rion dan kembali berpesta.

Moi sedikit berjengit ketika kursinya terasa ditendang.

"Moi, shopping yuk abis ini." Gadis berambut sebahu yang duduk di belakang Moi terdengar berbisik. Dia adalah Cessa, teman dekatnya di kelas.

Moi menggeleng. Seraya memutar wajah, dia menjawab pelan, "Nggak bisa. Gue ada janji sama Rion."

"Elah, pacaran mulu lo."

"Berisik."

Pacaran, itu kata yang sering Cessa pakai untuk mendeskripsikan hubungan Moi dengan Rion. Karena menurutnya, hubungan kedua orang itu terlihat lebih dari sekadar teman.

Baik Cessa maupun Rion, Moi memilih menyembunyikan pernikahannya dari mereka. Bukan karena tidak memercayai para sahabatnya, Moi hanya merasa malu dengan kenyataan yang ada, bahwa dia dan Ge menjalani pernikahan itu dengan terpaksa. Mungkin, suatu saat nanti. Moi akan memberitahu kenyataan tersebut, saat dirinya sudah merasa siap.

Pengantin Ge-Moiजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें