Part 35

64.5K 3.1K 16
                                    

Prilly POV.

Aku mengunci mobilku setelah terparkir dengan rapi di pelataran parkir kampusku. Paska kejadian kemarin, aku memutuskan untuk membawa mobil sendiri ke Kampus. Selain untuk menghindari Ali yang aku tahu tidak akan tinggal diam setelah aku menghindar, dan aku tidak mau merepotkan supirku yang sudah agak tua. Rasanya aneh sekali menyetir sendirian ke Kampus. Biasanya, aku selalu diantar jemput oleh Ali. Dan diantar kemanapun aku mau. Aku agak sedikit kaku ketika menyetir tadi. Efek lama tidak menyetir sepertinya.

Hari ini, aku ada kelas pagi. Aku ingat Ali juga memiliki kelas pagi. Aku menghela napas, mengingat nama itu, hatiku kembali berdenyut-denyut, seperti ditusuk ribuan jarum. Aku sebenarnya telah memaafkan Ali, tapi hatiku berkata tidak. Sepertinya kejadian kemarin sangat membekas. Sehingga meninggalkan sebuah lubang yang lumayan besar disana. Entah siapa yang akan menutupnya.

Aku berjalan dengan pelan menuju ruang kelasku, yang sialnya berdekatan dengan ruang kelas Ali. Besar kemungkinan aku akan bertemu dengannya. Mataku tak sengaja menangkap sosok yang ingin aku hindari. Ali. Ali tengah menatapku juga. Bisa aku rasakan, tatapan matanya menyiratkan penyesalan, kerinduan, dan kesedihan secara bersamaan.

Tidak ingin bertemu dengan Ali, aku memutar arah jalanku. Berjalan-jalan sebentar sepertinya tidak ada salahnya. Baru beberapa langkah, Nathan menghadangku.

"Prill," panggilnya. Aku hanya mengangguk pelan. Ingin melanjutkan jalanku, tapi tanganku terburu di tarik olehnya.

"Nat, lepas," aku memberontak. Menggoyangkan tangaku dengan keras agar terlepas dari cengkraman tangannya yang kuat. Entah apa yang dipikirkan Nathan, sehingga membuat cowok itu melepaskan cengkramannya dari tanganku.

"Tumben bawa mobil sendiri, biasanya juga bareng Ali. Kenapa?" Tanya Nathan serius. Aku melengos.

"Kepo banget sih jadi orang!" Sentakku. Bukannya takut, Nathan malah tergelak.

"Lucu banget sih lo," katanya. Aku mendengus, melipat kedua tanganku di depan dada.

"Gue nggak ngelucu," timpalku. Nathan menghentikan tawanya. Berubah menatapku serius.

"Lo kenapa? Ada masalah sama Ali? Lo abis nangis ya?" Tanya Nathan lagi. Kali ini, pertanyaannya telak.

"Kalau gue abis nangis, kenapa? Masalah buat lo?" Cibirku. Berusaha menutupi rasa sedihku dari laki-laki yang berdiri disampingku ini. Nathan menggelengkan kepalanya, lantas tersenyum kecil.

"Yang namanya cewek, gengsinya gede ya?" Sindirnya. Aku menghela napas kesal.

"Udah kepo, ngatain gue gengsi lagi." Keluhku.

"Loh kenyataannya, kan? Gue tau lo lagi galau, lo lagi ada masalah. Dan lo abis nangis. Keliatan kali dari dandanan sama mata lo itu," kata Nathan santai.

Aku menelan ludahku. Tebakannya benar sekali. Aku hanya memakai pakaian biasa, rambutku yang biasanya tersisir dengan rapi, kini ku ikat asal-asalan. Kedua mataku bisa dipastikan bengkak, dan sembab.

"Heh keliatan ya? Padahal gue udah berusaha buat nutupinnya," keluhku. Nathan tersenyum kecil. Laki-laki ini menepuk pundakku ringan.

"Gue cuma mau bilang, perbaiki apa yang bisa diperbaiki. Lupain apa yang bisa dilupain, maafin apa yang bisa dimaafin." Aku menarik kedua sudut bibirku, tanpa sadar tersenyum simpul. Setidaknya, Nathan bisa menghiburku.

"Gue udah maafin. Tapi kayaknya ucapan sama hati gue nggak sinkron deh. Hati gue masih sakit kalau inget kejadian kemarin," ceritaku. Nathan mengerutkan keningnya.

"Kejadian?" Aku mengangguk.

"Kejadian apa?"

Aku terdiam sebentar, menimang-nimang apakah aku akan menceritakannya kepada Nathan yang sebelumnya menyandang status musuhku, dan saingan Ali. Aku menatapnya, berusaha meyakinkan diriku bahwa Nathan telah berubah.

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang